Jumat, 16 Agustus 2013

Teori Tindakan Rasionalitas Max Weber

Beberapa masalah akan dihadapi dalam menganalisa tindakan social menurut pandangan Max Weber. Para ahli filsafat social, pujangga dan pengamat social lainnya, berbeda secara mendalam dalam memberikan prioritas pada pikiran, intelek dan logika ( kegiatan otak ) atau pada hati ( seperti perasaan, sentiment, emosi ). Jika menjelaskan perilaku manusia. Sejauh mana perilaku manusia itu bersifat rasional. Tidak seorangpun berbuat sesuatu tanpa pikiran, tetapi pikiran mungkin hanya sekedar keinginan untuk menyatakan suatu perasaan dan bukan suatu perhitungan yang sadar atau logis.
Terkadang kita berfikir bahwa tindakan yang di lakukan orang lain sama sekali tidak masuk akal, hanya menjadi berarti apabila orang itu menjelaskan alasan bagi tindakan itu. Meskipun criteria yang kita gunakan untuk penilaian seperti itu mungkin agak longgar.
Sumbangan Max Weber untuk teori sosiologi adalah teorinya mengenai rasionalitas. Dimana rasionalitas merupakan konsep dasar yang Weber gunakan dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan social. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan yang non rasional. Singkatnya, tindakan rasional ( menurut Weber ) berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan.
Atas dasar rasionalitas tindakan social, Weber membedakannya ke dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan social itu semakin mudah pula dipahami. Empat tipe tindakan social tersebut antara lain: Rasionalitas instrumental, Rasionalitas berorientasi nilai, tindakan tradisonal dan tindakan afektif.
Bagi Weber, konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subjektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan social yang berbeda. Weber melihat kenyataan social sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan – tindakan social.
Tindakan social adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Tindakan social yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “ membatin “atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu.
Inti dari teori Weber adalah bahwa tindakan social, apapun wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Karena tidak selalu semua perilaku dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi rasionalitas. Untuk mengetahui arti subjektif dan motivasi individu yang bertindak, yang diperlukan adalah kemampuan untuk berempati pada peranan orang lain.
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan social. Salah satu tipe tindakan social yang klasifikasikan Weber adalah tindakan tradisional. Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan social yang bersifat nonrasional. Kalau seorang individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan tradisonal. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang atau lenyap karena meningkatnya rasionalitas instrumental yang berorientasi pada nilai.
Contoh Tindakan Rasional
Dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipungkiri adanya tindakan tradisonal pada lingkungan dimana kita hidup. Lebih spesifik lagi tindakan tradisonal biasanya berkaitan dengan adat-adat atau kebiasaan.
Adat merupakan pencerminan dari pada kepribadian suatu bangsa. Adat juga merupakan penjelmaan daripada jiwa yang bersangkutan dari abad ke abad. Karena itu, tiap bangsa di dunia ini memiliki adat atau kebiasaan sendiri-sendiri yang mana satu dengan yang lainnya tidak sama. Dan justru adanya ketidaksamaan inilah meruapakan salah satu unsure terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.
Tingkatan peradaban maupun cara kehidupan yang modern, ternayata tidak mampu untuk menghilangkan adat dan kebiasaan hidup di dalam masyarakat. Pengaruh terjauh proses kemajuan zaman alias arus modernisasi terhadap adat yang kita lihat hanyalah bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan kehendak keadaan zaman yang semakin modern, dan bukan menghilangkannya. Hal ini menunjukkan bahwa adat menjadi kekal dan tetap segar.
Di dalam Negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh daerah, suku sangat majemuk, meskipun dasar serta sifatnya adalah satu, yakni keindonesiaan. Di Jawa Timur, khususnya di desa dimana saya tinggal, yakni Balongdowo kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo, ada sebuah adat yang hingga kini masih dilaksanakan, yaitu upacara ritual Nyadran.
Dari segi bahasa, kata Nyadran berasal dari kata bahasa Jawa sadran yang berarti Ruwah, Sya’ban. Lambat laun kata tersebut kemudian didefinisikan sebagai upacara kenduri yang diadakan di tempat tertentu, misalnya ditempat keramat, mesjid, rumah, atau tempat yang lainnya. Di daerah saya. Nyadran diartikan upacara ritual selamatan petik laut ke makam Dewi Sekardadu di Dusun Kepetingan desa sawohan kecamatan Buduran Sidoarjo. Upacara ini juga di sebut sebagai tasyakuran atau selamatan dari para nelayan setempat.
Biasanya, ritual ini dilaksanakan dengan di dahului ziarah ke makam leluhur, mengadakan tumpengan ( selamatan ) di masing-masing rumah nelayan dan juga menyiapkan makanan dan sesajen berupa ayam panggang, nasi, pisang, dan kue di masukkan ke dalam tomblok ( tempat makanan yang terbuat dari Bambu ) untuk di bawa ke pesta Nyadran di selat Madura. Kegiatan Nyadran ini sudah menjadi tradisi masyarakat di desa saya dari abad ke abad, bahkan seakan sudah menjadi kewajiban.
Nyadran sejatinya adalah upacara ritual selamatan petik laut ke makam Dewi Sekardadu ( ibunda Sunan Giri ) yang terletak di dusun Kepetingan desa Sawohan kecamatan Buduran Sidoarjo. Sebagian masyarakat mengartikan Nyadran adalah tradisi ziarah ke makam Dewi Sekardadu yang dipercaya oleh masyarakat dilingkungan saya, dan sudah dilakukan dari berabad abad.
Mengenai asal-usul upacara Nyadran, tidak seorangpun dari masyarakat didesa saya yang mengetahui persis tentang sejarah asal-usulnya. Bahkan sesepuh dan tokoh masayarakat sekitarpun tidak mengetahuinya. Masyarakat menganggap bahwa Nyadran ini merupakan suatu adat atau tradisi yang dilakukan nenek moyang dan terus dilaksanakan oleh generasi sesudahnya.
Memang asal-usul Nyadran secara pasti tidak diketahui, namun masayarakat menganggap bahwa Nyadran ini suatu kewajiban yang harus dilakukan setiap tahun, karena ritual ini merupakan selamatan para nelayan, juga diyakini sebagai hari ulang tahun masayarakat dilingkungan saya. Masyarakat percaya bahwa jika tidak dilakukan ritual Nyadran, maka hasil laut terutama yang berupa “ kupang “ tidak akan mendapat hasil yang berlimpah.
Konon, pada sekitar sepuluh tahun yang silam, ada kejadian yang cukup aneh. Setelah masyarakat melakukan upacara Nyadran, namun penghasilan para nelayan tidak berlimpah ( hasil kupangnya sedikit ). Kemudian para nelayan berinisiatif untuk mengadakan upacara Nyadran lagi. Anehnya, keesokan harinya mendapat kupang yang berlimpah, para nelayan pun gembira. Hal ini menunjukkan bahwa upacara Nyadran merupakan tradisi yang harus dilakukan oleh nelayan kupang.
Proses pelaksanaan Nyadran, biasanya dilaksanakan pada bulan Ruwah ( Sya’ban ). Nyadran dilakukan pada malam hari. Pada siang hari masayarakat nelayan disibukkan dengan kegiatan persiapan pesta upacara meskipun puncak upacaranya pada tengah malam.
Laki-laki, perempuan, besar, kecil semuanya melakukan pekerjaannya sesuai tugas masing-masing. Ada yang menghias perahu dan sebagainya. Khusu ibu-ibu, mereka melakukan kegiatan menyiapkan makanan yang akan dibawa ke pesta upacara Nyadran. Serta menyiapkan sesajen. Sesajen yang disiapkan berupa ayam panggang, nasi dan pisang serta kue yang di masukkan ke dalam “ tomblok “. Kegiatan persiapan ini berlangsung sampai sore hari, kemudian dilanjutkan kenduri di masing-masing rumah para nelayan kupang.
Pada malam hari, disepanjang jalan dan tepian sungai Balongdowo, suasanya sangat ramai dipenuhi oleh masyarakat dan pedagang kaki lima, sehingga kedengaran hiruk pikuk dibarengi para remaja berjoget ria di atas perahu. Para pengunjung semakin malam semakin berdesak-desakan untuk menyaksikan pemberangkatan iring-iringan perahu menuju ke pesta Nyadran di selat Madura ( pantai Timur Sidoarjo ). Pemberangkatan bergantung pada keadaan air sungai. Sekitar pukul 02.00 di sini saat air laut surut iring-iringan perahu mulai diberangkatkan.
Perjalanan dimulai dari Bandar Balongdowo. Perjalanan ini melewati sungai desa klurak, kali pecabean, kedungpeluk dan kepetingan. Ketika iring-iringan perahu sampai di muara Kali Pecabean perahu yang ditumpangi anak balita harus membuang seekor ayam yang masih hidup, supaya anak kecil tersebut terhindar dari malapetaka ( kesurupan ).
Dalam perkembangannya, upacara ritual Nyadran ini mengalami perubahan-perubahan. Dahulu kala, nenek moyang masyarakat di desa saya melakukan upacara Nyadran dengan penuh pemahaman dan pengahayatan ziarah ke makam Dewi Sekardadu untuk mendo’akan ahli kubur dan juga ngalap ( tawassul ) barokah do’a untuk keselamatan para nelayan. Tentunya juga dengan harapan agar diberi rizki yang banyak ( hasil kupang yang melimpah ) oleh Yang Maha Kuasa dengan lantaran do’a tersebut.
Tetapi, seiring dengan perubahan zaman, juga perubahan pelaku ritual Nyadran dari generasi ke generasi, maka upacara adat inipun mengalami perubahan, bahkan perubahan yang sangat drastis. Mereka, terutama anak-anak muda melakukan Nyadran dengan hanya sekedar ikut-ikutan, tanpa mengetahui makna yang terkandung didalamnya.
Nyadran, merupakan sebuah ritual yang sudah ditradisikan dari masa ke masa. Dari sekian tahun, masayarakat tidak pernah meninggalkan upacara Nyadran. Karena masyarakat nelayan menganggap jika tidak melakukan Nyadran, maka akan mengakibatkan kupangnya tidak berlimpah dan jika tidak dilakukan Nyadran, akan mendapat kritikan keras atau protes dari masyarakat nelayan yang sangat mempercayai ritual tersebut sebagai hal yang cukup keramat.
Tindakan social yang berupa Upacara atau ritual Nyadran yang dilakukan oleh masyarakat nelayan didaerah saya terlihat nonrasional. Dikatakan nonrasional karena kita yang melihat masyarakat melakukan ritual Nyadran dengan membawa Sesajen yang disiapkan berupa ayam panggang, nasi dan pisang serta kue yang di masukkan ke dalam “ tomblok “. Kemudian arak-arakan dengan berjoget-joget diatas kapal dan ditengah laut seorang ibu yang membawa anak balita harus membuang ayam agar anaknya tidak kesurupan. Teori Weber membuktikan bahwasannya memang tindakan social dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Tindakan ritual bisa saja mempunyai makna tertentu bagi seseorang yang melakukannya. Sebagian dari kita mungkin heran dan tidak habis pikir kenapa ada masyarakat yang bersedia melakukan ritual-ritual yang jika dipikir-pikir tidak ada gunanya. Jika kita hanya mengandalkan subyektif diri kita. Kita tidak akan pernah tahu makna yang terkandung dalam ritual Nyadran tersebut. Oleh karena itu Weber mengemukakan: suatu metode untuk dapat memahami arti-arti subjektif tindakan social seseorang adalah dengan Verstehen. Verstehen adalah kemampuan untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu.
Ritual Nyadran dikatakan Tindakan Sosial yang tradisional, karena ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat dalam suatu upacara merupakan symbol yang mengandung makna tertentu, yang maknanya bisa dipahami jika ditujukan kepada masyarakat. Serta dilakukan nya Ritual Nyadran tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Dan kegiatan tersebut biasanya diperoleh dari warisan nenek moyang. Begitu halnya Mengenai asal-usul upacara Nyadran, tidak seorangpun dari masyarakat didesa saya yang mengetahui persis tentang sejarah asal-usulnya. Bahkan sesepuh dan tokoh masayarakat sekitarpun tidak mengetahuinya. Masyarakat menganggap bahwa Nyadran ini merupakan suatu adat atau tradisi yang dilakukan nenek moyang dan harus terus dilaksanakan oleh generasi sesudahnya.
Tindakan tradisonal mungkin mencerminkan suatu kepercayaan yang sadar akan nilai sacral tradisi-tradisi dalam suatu masyarakat, dan itu berarti bahwa tindakan itu mengandung rasionalitas yang berorientasi pada nilai. Atau juga dia mencerminkan suatu penilaian yang sadar alternative-alternatif dan juga mencerminkan suatu keputusan bahwa tradisi-tradisi yang sudah mapan merupakan cara yang paling baik untuk suatu tujuan –tujuan lainnya.
Artinya, tindakan tradisional bisa mengandung tindakan rasionalitas berorientasi nilai karena, pada awalnya tindakan tradisional dilakukan tanpa refleksi sadar atau perencanaan. Tetapi kemudian dilakukan dengan penuh pertimbangan dan pilihan sadar. Serta tindakan tersebut mencerminkan suatu keputusan bahwa tradisi-tradisi yang sudah mapan merupakan cara yang paling baik untuk suatu tujuan-tujuan lainnya.
Jadi, masyarakat nelayan yang melakukan ritual Nyadran telah melakukan tindakan tradisional, karena menganggap bahwa Ritual tersebut adalah ritual-ritual yang memiliki symbol yang mengandung makna tertentu, yang maknanya bisa dipahami jika ditujukan kepada masyarakat. Serta dilakukan nya Ritual Nyadran tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Dan kegiatan tersebut biasanya diperoleh dari warisan nenek moyang. Dan ritual-ritual tersebut merupakan tindakan social yang dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Menurut masyarakat nelayan Ritual Nyadran mempunyai makna tersendiri sehingga harus dilakukan., sedangkan kita yang memandang, kita akan berfikiran yang dilakukan masyarakat nelayan sangat tidak rasional. Tapi, rasional bagi yang melakukan ritual Nyadran.
DAFTAR PUSTAKA
  • Bagong Suyanto. Sosiologi Suatu Teks dan Pengantar. ( Jakarta : Kencana, 2006 )
  • George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Jakarta : Rajawali Pers, 2010).
  • M. Zeitlin, Irving. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1998.
  • Paul Johnson, Doyle. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama, 1994. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar