Beberapa masalah akan dihadapi dalam menganalisa tindakan social
menurut pandangan Max Weber. Para ahli filsafat social, pujangga dan pengamat
social lainnya, berbeda secara mendalam dalam memberikan prioritas pada
pikiran, intelek dan logika ( kegiatan otak ) atau pada hati ( seperti
perasaan, sentiment, emosi ). Jika menjelaskan perilaku manusia. Sejauh mana
perilaku manusia itu bersifat rasional. Tidak seorangpun berbuat sesuatu tanpa
pikiran, tetapi pikiran mungkin hanya sekedar keinginan untuk menyatakan suatu
perasaan dan bukan suatu perhitungan yang sadar atau logis.
Terkadang kita berfikir bahwa tindakan yang di lakukan orang lain
sama sekali tidak masuk akal, hanya menjadi berarti apabila orang itu
menjelaskan alasan bagi tindakan itu. Meskipun criteria yang kita gunakan untuk
penilaian seperti itu mungkin agak longgar.
Sumbangan Max Weber untuk teori sosiologi adalah teorinya mengenai
rasionalitas. Dimana rasionalitas merupakan konsep dasar yang Weber gunakan
dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan social. Pembedaan pokok yang
diberikan adalah antara tindakan rasional
dan yang non rasional. Singkatnya, tindakan rasional ( menurut
Weber ) berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan
itu dinyatakan.
Atas dasar rasionalitas tindakan social, Weber membedakannya ke
dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan social itu semakin mudah pula
dipahami. Empat tipe tindakan social tersebut antara lain: Rasionalitas
instrumental, Rasionalitas berorientasi nilai, tindakan tradisonal dan tindakan
afektif.
Bagi Weber, konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa
obyektif mengenai arti-arti subjektif dan juga merupakan dasar perbandingan
mengenai jenis-jenis tindakan social yang berbeda. Weber melihat kenyataan
social sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan –
tindakan social.
Tindakan social adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu
mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan
orang lain. Tindakan social yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang
nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang
bersifat “ membatin “atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena
pengaruh positif dari situasi tertentu.
Inti dari teori Weber adalah bahwa tindakan social, apapun
wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola
motivasional yang berkaitan dengan itu. Karena tidak selalu semua perilaku
dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi rasionalitas. Untuk mengetahui arti
subjektif dan motivasi individu yang bertindak, yang diperlukan adalah
kemampuan untuk berempati pada peranan orang lain.
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam
klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan social. Salah satu tipe tindakan
social yang klasifikasikan Weber adalah tindakan tradisional. Tindakan
tradisional merupakan tipe tindakan social yang bersifat nonrasional. Kalau
seorang individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang
sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan
tradisonal. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang atau lenyap
karena meningkatnya rasionalitas instrumental yang berorientasi pada nilai.
Contoh Tindakan Rasional
Dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipungkiri adanya tindakan
tradisonal pada lingkungan dimana kita hidup. Lebih spesifik lagi tindakan
tradisonal biasanya berkaitan dengan adat-adat atau kebiasaan.
Adat merupakan pencerminan dari pada kepribadian suatu bangsa.
Adat juga merupakan penjelmaan daripada jiwa yang bersangkutan dari abad ke
abad. Karena itu, tiap bangsa di dunia ini memiliki adat atau kebiasaan
sendiri-sendiri yang mana satu dengan yang lainnya tidak sama. Dan justru
adanya ketidaksamaan inilah meruapakan salah satu unsure terpenting yang
memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.
Tingkatan peradaban maupun cara kehidupan yang modern, ternayata
tidak mampu untuk menghilangkan adat dan kebiasaan hidup di dalam masyarakat.
Pengaruh terjauh proses kemajuan zaman alias arus modernisasi terhadap adat
yang kita lihat hanyalah bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan kehendak
keadaan zaman yang semakin modern, dan bukan menghilangkannya. Hal ini
menunjukkan bahwa adat menjadi kekal dan tetap segar.
Di dalam Negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh
daerah, suku sangat majemuk, meskipun dasar serta sifatnya adalah satu, yakni
keindonesiaan. Di Jawa Timur, khususnya di desa dimana saya tinggal, yakni
Balongdowo kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo, ada sebuah adat yang hingga kini
masih dilaksanakan, yaitu upacara ritual Nyadran.
Dari segi bahasa, kata Nyadran berasal dari kata bahasa Jawa
sadran yang berarti Ruwah, Sya’ban. Lambat laun kata tersebut kemudian
didefinisikan sebagai upacara kenduri yang diadakan di tempat tertentu,
misalnya ditempat keramat, mesjid, rumah, atau tempat yang lainnya. Di daerah
saya. Nyadran diartikan upacara ritual selamatan petik laut ke makam Dewi
Sekardadu di Dusun Kepetingan desa sawohan kecamatan Buduran Sidoarjo. Upacara
ini juga di sebut sebagai tasyakuran atau selamatan dari para nelayan setempat.
Biasanya, ritual ini dilaksanakan dengan di dahului ziarah ke
makam leluhur, mengadakan tumpengan ( selamatan ) di masing-masing rumah
nelayan dan juga menyiapkan makanan dan sesajen berupa ayam panggang, nasi,
pisang, dan kue di masukkan ke dalam tomblok ( tempat makanan yang terbuat dari
Bambu ) untuk di bawa ke pesta Nyadran di selat Madura. Kegiatan Nyadran ini
sudah menjadi tradisi masyarakat di desa saya dari abad ke abad, bahkan seakan
sudah menjadi kewajiban.
Nyadran sejatinya adalah upacara ritual selamatan petik laut ke
makam Dewi Sekardadu ( ibunda Sunan Giri ) yang terletak di dusun Kepetingan
desa Sawohan kecamatan Buduran Sidoarjo. Sebagian masyarakat mengartikan Nyadran
adalah tradisi ziarah ke makam Dewi Sekardadu yang dipercaya oleh masyarakat
dilingkungan saya, dan sudah dilakukan dari berabad abad.
Mengenai asal-usul upacara Nyadran, tidak seorangpun dari
masyarakat didesa saya yang mengetahui persis tentang sejarah asal-usulnya.
Bahkan sesepuh dan tokoh masayarakat sekitarpun tidak mengetahuinya. Masyarakat
menganggap bahwa Nyadran ini merupakan suatu adat atau tradisi yang dilakukan
nenek moyang dan terus dilaksanakan oleh generasi sesudahnya.
Memang asal-usul Nyadran secara pasti tidak diketahui, namun
masayarakat menganggap bahwa Nyadran ini suatu kewajiban yang harus dilakukan
setiap tahun, karena ritual ini merupakan selamatan para nelayan, juga diyakini
sebagai hari ulang tahun masayarakat dilingkungan saya. Masyarakat percaya
bahwa jika tidak dilakukan ritual Nyadran, maka hasil laut terutama yang berupa
“ kupang “ tidak akan mendapat hasil yang berlimpah.
Konon, pada sekitar sepuluh tahun yang silam, ada kejadian yang
cukup aneh. Setelah masyarakat melakukan upacara Nyadran, namun penghasilan
para nelayan tidak berlimpah ( hasil kupangnya sedikit ). Kemudian para nelayan
berinisiatif untuk mengadakan upacara Nyadran lagi. Anehnya, keesokan harinya
mendapat kupang yang berlimpah, para nelayan pun gembira. Hal ini menunjukkan
bahwa upacara Nyadran merupakan tradisi yang harus dilakukan oleh nelayan
kupang.
Proses pelaksanaan Nyadran, biasanya dilaksanakan pada bulan Ruwah
( Sya’ban ). Nyadran dilakukan pada malam hari. Pada siang hari masayarakat
nelayan disibukkan dengan kegiatan persiapan pesta upacara meskipun puncak
upacaranya pada tengah malam.
Laki-laki, perempuan, besar, kecil semuanya melakukan pekerjaannya
sesuai tugas masing-masing. Ada yang menghias perahu dan sebagainya. Khusu
ibu-ibu, mereka melakukan kegiatan menyiapkan makanan yang akan dibawa ke pesta
upacara Nyadran. Serta menyiapkan sesajen. Sesajen yang disiapkan berupa ayam
panggang, nasi dan pisang serta kue yang di masukkan ke dalam “ tomblok “.
Kegiatan persiapan ini berlangsung sampai sore hari, kemudian dilanjutkan
kenduri di masing-masing rumah para nelayan kupang.
Pada malam hari, disepanjang jalan dan tepian sungai Balongdowo,
suasanya sangat ramai dipenuhi oleh masyarakat dan pedagang kaki lima, sehingga
kedengaran hiruk pikuk dibarengi para remaja berjoget ria di atas perahu. Para
pengunjung semakin malam semakin berdesak-desakan untuk menyaksikan
pemberangkatan iring-iringan perahu menuju ke pesta Nyadran di selat Madura (
pantai Timur Sidoarjo ). Pemberangkatan bergantung pada keadaan air sungai.
Sekitar pukul 02.00 di sini saat air laut surut iring-iringan perahu mulai
diberangkatkan.
Perjalanan dimulai dari Bandar Balongdowo. Perjalanan ini melewati
sungai desa klurak, kali pecabean, kedungpeluk dan kepetingan. Ketika
iring-iringan perahu sampai di muara Kali Pecabean perahu yang ditumpangi anak
balita harus membuang seekor ayam yang masih hidup, supaya anak kecil tersebut
terhindar dari malapetaka ( kesurupan ).
Dalam perkembangannya, upacara ritual Nyadran ini mengalami
perubahan-perubahan. Dahulu kala, nenek moyang masyarakat di desa saya
melakukan upacara Nyadran dengan penuh pemahaman dan pengahayatan ziarah ke
makam Dewi Sekardadu untuk mendo’akan ahli kubur dan juga ngalap ( tawassul )
barokah do’a untuk keselamatan para nelayan. Tentunya juga dengan harapan agar
diberi rizki yang banyak ( hasil kupang yang melimpah ) oleh Yang Maha Kuasa
dengan lantaran do’a tersebut.
Tetapi, seiring dengan perubahan zaman, juga perubahan pelaku
ritual Nyadran dari generasi ke generasi, maka upacara adat inipun mengalami
perubahan, bahkan perubahan yang sangat drastis. Mereka, terutama anak-anak
muda melakukan Nyadran dengan hanya sekedar ikut-ikutan, tanpa mengetahui makna
yang terkandung didalamnya.
Nyadran, merupakan sebuah ritual yang sudah ditradisikan dari masa
ke masa. Dari sekian tahun, masayarakat tidak pernah meninggalkan upacara
Nyadran. Karena masyarakat nelayan menganggap jika tidak melakukan Nyadran,
maka akan mengakibatkan kupangnya tidak berlimpah dan jika tidak dilakukan Nyadran,
akan mendapat kritikan keras atau protes dari masyarakat nelayan yang sangat
mempercayai ritual tersebut sebagai hal yang cukup keramat.
Tindakan social yang berupa Upacara atau ritual Nyadran yang
dilakukan oleh masyarakat nelayan didaerah saya terlihat nonrasional. Dikatakan
nonrasional karena kita yang melihat masyarakat melakukan ritual Nyadran dengan
membawa Sesajen yang disiapkan berupa ayam panggang, nasi dan pisang serta kue
yang di masukkan ke dalam “ tomblok “. Kemudian arak-arakan dengan berjoget-joget
diatas kapal dan ditengah laut seorang ibu yang membawa anak balita harus
membuang ayam agar anaknya tidak kesurupan. Teori Weber membuktikan bahwasannya
memang tindakan social dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif dan
pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Tindakan ritual bisa saja
mempunyai makna tertentu bagi seseorang yang melakukannya. Sebagian dari kita
mungkin heran dan tidak habis pikir kenapa ada masyarakat yang bersedia
melakukan ritual-ritual yang jika dipikir-pikir tidak ada gunanya. Jika kita
hanya mengandalkan subyektif diri kita. Kita tidak akan pernah tahu makna yang
terkandung dalam ritual Nyadran tersebut. Oleh karena itu Weber mengemukakan:
suatu metode untuk dapat memahami arti-arti subjektif tindakan social seseorang
adalah dengan Verstehen. Verstehen
adalah kemampuan untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam
kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta
tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu.
Ritual Nyadran dikatakan Tindakan Sosial yang tradisional, karena
ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat dalam suatu upacara merupakan
symbol yang mengandung makna tertentu, yang maknanya bisa dipahami jika
ditujukan kepada masyarakat. Serta dilakukan nya Ritual Nyadran tanpa refleksi
yang sadar atau perencanaan. Dan kegiatan tersebut biasanya diperoleh dari
warisan nenek moyang. Begitu halnya Mengenai asal-usul upacara Nyadran, tidak
seorangpun dari masyarakat didesa saya yang mengetahui persis tentang sejarah
asal-usulnya. Bahkan sesepuh dan tokoh masayarakat sekitarpun tidak
mengetahuinya. Masyarakat menganggap bahwa Nyadran ini merupakan suatu adat
atau tradisi yang dilakukan nenek moyang dan harus terus dilaksanakan oleh
generasi sesudahnya.
Tindakan tradisonal mungkin mencerminkan suatu kepercayaan yang
sadar akan nilai sacral tradisi-tradisi dalam suatu masyarakat, dan itu berarti
bahwa tindakan itu mengandung rasionalitas yang berorientasi pada nilai. Atau
juga dia mencerminkan suatu penilaian yang sadar alternative-alternatif dan
juga mencerminkan suatu keputusan bahwa tradisi-tradisi yang sudah mapan
merupakan cara yang paling baik untuk suatu tujuan –tujuan lainnya.
Artinya, tindakan tradisional bisa mengandung tindakan
rasionalitas berorientasi nilai karena, pada awalnya tindakan tradisional
dilakukan tanpa refleksi sadar atau perencanaan. Tetapi kemudian dilakukan
dengan penuh pertimbangan dan pilihan sadar. Serta tindakan tersebut
mencerminkan suatu keputusan bahwa tradisi-tradisi yang sudah mapan merupakan
cara yang paling baik untuk suatu tujuan-tujuan lainnya.
Jadi, masyarakat nelayan yang melakukan ritual Nyadran telah
melakukan tindakan tradisional, karena menganggap bahwa Ritual tersebut adalah
ritual-ritual yang memiliki symbol yang mengandung makna tertentu, yang
maknanya bisa dipahami jika ditujukan kepada masyarakat. Serta dilakukan nya
Ritual Nyadran tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Dan kegiatan
tersebut biasanya diperoleh dari warisan nenek moyang. Dan ritual-ritual
tersebut merupakan tindakan social yang dapat dimengerti hanya menurut arti
subyektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Menurut
masyarakat nelayan Ritual Nyadran mempunyai makna tersendiri sehingga harus
dilakukan., sedangkan kita yang memandang, kita akan berfikiran yang dilakukan
masyarakat nelayan sangat tidak rasional. Tapi, rasional bagi yang melakukan
ritual Nyadran.
DAFTAR PUSTAKA
- Bagong Suyanto. Sosiologi Suatu Teks dan Pengantar. ( Jakarta : Kencana, 2006 )
- George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Jakarta : Rajawali Pers, 2010).
- M. Zeitlin, Irving. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1998.
- Paul Johnson, Doyle. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar