Riset
atau penelitian sosial pernah dianggap sebagai proyek yang seolah bersih dari
noda: Ia dilukiskan sebagai upaya untuk mencari kebenaran melalui seperangkat
cara yang steril dari kepentingan sehingga temuan-temuannya pun dikatakan
sebagai hal yang obyektif. Belakangan, banyak muncul kritik yang berpandangan
bahwa obyektivitas adalah sesuatu yang mustahil. Para ahli sudah berdebat
panjang mengenai tema ini, yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab pemikiran
tentang penelitian ilmiah.
Tulisan
ini tidak dimaksudkan untuk melanjutkan percakapan para ahli tersebut. Ada
pertanyaan penting yang kadang luput dari debat soal penelitian tadi, yakni:
apa manfaat penelitian pada subyek yang diteliti. Pertanyaan ini penting
dijawab sebab merupakan salah satu pertanyaan utama yang kerap dilontarkan
warga berbagai komunitas lokal dan masyarakat adat di penjuru tanah air yang
sangat sering diteliti.
Saat
saya melakuan penelitian tentang komunitas wetutelu di Lombok, misalnya,
pertanyaan pertama yang terlontar dari mayarakat lokal ketika saya bahkan belum
sempat mengajukan pertanyaan pada mereka adalah: apa manfaat penelitian ini
bagi kami? Pertanyaan ini menyiratkan bahwa selama ini mereka lebih merasa
dirugikan ketimbang diuntungkan oleh serangkaian penelitian yang pernah ada.
Mereka sudah begitu sering diteliti, sudah tak terhitung jumlah peneliti yang
berkunjung lantas bertanya berbagai macam hal pada mereka. Sebegitu banyaknya
penelitian yang dilakukan atas mereka juga membuat mereka nyaris hafal dengan
sejumlah pertanyaan yang diajukan para peneliti. Seolah sudah ada template
jawaban terhadap setiap wawancara penelitian Bahkan kadang mereka mengoda
peneliti yang seperti kehabisan bahan wawancara dengan pertanyaan, ”Lho kok
tidak tanya tentang ini mas, biasanya pada tanya lho…”
Selama
ini penelitian mereka alami sebagai sebuah proses ketika ada orang luar
mendatangi mereka kemudian bertanya berbagai macam hal lantas pergi begitu saja
tanpa jejak. Tradisi penelitian di negeri ini sepertinya memang tak benar-benar
menempatkan komunitas yang diteliti sebagai subyek, sehingga begitu penelitian
selesai dikerjakan, komunitas tersebut dianggap tidak relevan lagi bahkan
sekadar untuk diberi kesempatan membaca laporan penelitian tersebut. Dari
sekian hasil penelitian yang bisa mereka baca, tidak sedikit yang justru mereka
anggap merugikan. Komunitas-komunitas lokal tak akan peduli dengan apakah sebuah
penelitian sudah memenuhi standard ilmiah atau belum, namun mereka akan menyoal
apakah tulisan tersebut menjelek-jelekkan diri mereka atau tidak. Komunitas
wetutelu di Lombok dan komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, misalnya,
mengeluhkan sejumlah publikasi yang mereka nilai justru memojokkan mereka.
Keluhan ini menjadi penting bagi mereka sebab tak sedikit kebijakan yang
merugikan mereka lahir dari beragam penelitian tersebut.
Representasi
dan konstruksi
Keluhan
tersebut bersumber pada sesuatu yang biasa disebut dengan representasi. Yakni
bagaimana sebuah kelompok dicitrakan, dinarasikan, dan disajikan kepada
khalayak luas. Representasi dalam hal ini adalah bagaimana sesuatu dikonstruksi
dan disajikan. Bagaimana misalnya sebuah komunitas lokal disajikan dan
diceritakan kepada khalayak luas. Representasi mengandung soal pelibatan
(inklusi) dan penyingkiran (eksklusi): ada yang dibuang ada yang dipertahankan,
ada yang dipilih ada yang dipilah. Di dalam representasi inilah ada yang
disebut dengan stereotipe, yakni sejenis gambaran sederhana yang mereduksi
orang menjadi sekumpulan ciri-ciri yang berlebihan dan seringkali negatif.
Meski
bukan seperti kekerasan dan intimidasai fisik, namun akibat yang dilahirkan
representasi bisa tidak kalah gentingnya. Ia akan menciptakan konstruksi orang
tentang sebuah kelompok atau komunitas, dan sebuah konstruksi diskursif tidak
berhenti di kepala, pada gilirannya ia akan dimaterialkan menjadi
tindakan.Discourse atau wacana, dalam pengertian Michel Foucault, adalah “praktik
yang secara sistematis membentuk obyek yang dibicarakan”. Konstruksi diskursif
inilah yang akan memberi legitimasi pada sejumlah intervensi terhadap
kelompok-kelompok tertentu.
Ini
misalnya yang terjadi pada komunitas wetutelu. Sejumlah buku dan tulisan
menggambarkan mereka sebagai komunitas terasing, terbelakang, serta penganut
Islam sinkretis yang hanya mengenal tiga kali waktu sembahyang. Sebutan
”sinkretis”, bagaimanapun, telah membangkitkan makna peyoratif atau mencitrakan
sesuatu yang negatif. Dengan menyebut sinkretis, seolah Islam ditempatkan
sebagai sesuatu yang lebih utama sementara yang lain hanyalah tempelan belaka
yang merusak atau merecoki warna Islam yang sejati. Komunitas ini juga
direpresentasikan sebagai komunitas penganut agama tradisional yang tidak
rasional. Dengan disebut sebagai komunitas terbelakang dan punya keyakinan
primitif, ia pada akhirnya mesti diintegrasikan ke dalam kelompok mayoritas.
Identifikasi semacam ini pada gilirannya juga akan semakin mengucilkan
komunitas wetutelu, sebab selama ini hanya ajaran agama resmi yang berhak untuk
hidup dan dianggap lebih sesuai dengan program pembangunan. Identifikasi
semacam ini juga kian mengabsahkan segala upaya untuk mengintegrasikan
komunitas wetutelu ke dalam bagian masyarakat mayoritas yang lebih besar dengan
mengabaikan hak-hak kultural komunitas tersebut.
Menuju
Agenda Penilitian Baru
Representasi
semacam itulah yang bagi komunitas lokal disebut sebagai hasil penelitian yang
tidak menguntungkan. Sebagai sebuah kelompok, secara umum komunitas-komunitas
lokal adalah kelompok yang terpinggirkan, mereka tak punya akses yang memadai
pada produksi pengetahuan. Di sisi lain, produksi pengetahuan dari berbagai
penelitian justru membuat mereka semakin terpinggir. Pertanyaan tentang manfaat
penelitian sesungguhnya merupakan gugatan terhadap serangkaian proyek
penelitian tentang komunitas lokal yang selama ini hanya menghasilkan profil
dan monografi.
Monografi
komunitas bukannya tidak penting, ia bisa memberi sumbangan pada akumulasi
pengetahuan secara umum, namun ia tidak akan banyak berpengaruh pada perubahan
pola dominasi pengetahuan dan distribusi pengetahuan pada berbagai kelompok
sosial yang berbeda. Masyarakat lokal, misalnya, tidak akan banyak mendapat
manfaat dari proyek semacam ini. Paling jauh ia hanya akan dikenal publik
secara lebih luas, dan itu bisa jadi justru akan mempersulit dan memojokkan
posisi komunitas bersangkutan. Apalagi jika mereka direpresentasikan sebagai
sesuatu yang buruk.
Pertanyaan
tentang manfaat penilitian bagi komunitas yang diteliti tadi barangkali bisa
menjadi pijakan untuk berpikir tentang agenda penelitian baru yang lebih
menempatkan komunitas-komunitas tersebut sebagai subyek atau bahkan sebagai
peneliti itu sendiri. Sebuah agenda penelitian yang tidak hanya berpikir
tentang bagaimana memahami kondisi sosial sebuah komunitas namun juga memberi
jalan untuk melakukan perubahan, sehingga pada gilirannya ia akan menjadi
instrumen perubahan yang membuat kaum yang tak berdaya, tertindas, terkuasai,
dan terpinggirkan mampu mempertanyakan, kemudian mensubversi, dan akhirnya
mengubah sistem dominatif yang ada.
Artikel ini di kutip dari blognya Heru
Prasetia* Penulis adalah pegiat Lafadl Initiatives dan peneliti Hak Minoritas
dan Multikulturalisme Yayasan Interseksi, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar