Manusia
dalam hidupnya mengalami dua macam perkembangan, dua perkembangan tersebut
meliputi perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani
bisa di ukur berdasarkan umur, puncak perkembangan jasmani yang dicapai
seseorang biasanya disebut dengan kedewasaan. Sebaliknya, jika perkembangan
rohani diukur dengan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas
tertentu bagi perkembangan rohani disebut dengan istilah kematangan (maturity).
Kematangan
beragama adalah proses tertinggi dimana manusia mengalami matang beragama atau
kematangan dalam beragama. Proses perkembangan kematangan keagamaan manusia
tidak akan pernah selesai, seperti proses perkembangan fisik yang terjadi dalam
diri manusia, akan tetapi kedewasaan
jasmani manusia tidak dapat dijadikan ukuran atau dijadikan jaminan bahwa
seseorang tersebut telah mencapai kematangan beragama, sebab proses
perkembangan agama manusia tidak pernah selesai dan proses perkembangan
kematangan keagamaan tersebut tidak hanya bertumpu pada seseuatu yang positif
saja tetapi juga negatif, memang secara normal, seseorang yang telah mencapai
kedewasaan akan memiliki pula kematangan rohani seperti kematangan berpikir,
kepribadian maupun kematangan emosi. Tetapi relasi antara kematangan jasmani
dan rohani kadang tidak berjalan sejajar. Secara fisik mungkin seseorang yang
telah mencapai tingkat kematangan jasmani telah di anggap dewasa akan tetapi
tingkat kematangan rohani belum tentu demikian.
Kematangan
beragama manusia dapat terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami,
menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam
kehidupan sehari-hari. Jika seseorang menganut suatu kepercayaan yakni berupa
agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik dan ia juga
berusaha untuk selalu menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkannya
dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap
agamanya.
Sebaliknya,
dalam kehidupan tak jarang dijumpai beberapa orang yang taat beragama dilatar
belakangi oleh berbagai pengalaman agama serta tipe kepribadian masing-masing.
Kondisi seperti itu menurut ahli psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan
seseorang. Dengan demikian, pengaruh tersebut secara umum memberikan ciri-ciri
tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing, seperti ciri-ciri yang
dipaparkan oleh wieman, adapun ciri-ciri tersebut adalah:
Tujuan
layak ditinjau dari segi kemanusiaan : Loyalitas yang sempurna, Efisien dalam
mencapai tujuan, Sensitif dalam memandang nilai. Loyalitas yang terus tumbuh, Loyalitas
yang secara sosial efektif
Ciri-ciri
yang telah Wieman gambarkan tersebut lebih bertumpu pada rasa atau jiwa sosial
yang tinggi, sebab jika seseorang yang telah mencapai proses tertinggi pengalaman
keagamaannya pasti ia akan berusaha untuk menghayati dan memahami ajaran-ajaran
agamanya kemudian mengaplikasikannya dalam hidup bersosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar