Saat
kita berbicara tentang agama, yang terlintas dalam benak kita adalah
seperangkat nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan yang sedemikian indah,
mempesona dan komprehensif. Bagaimana tidak luhur jika yang diajarkan oleh
setiap agama adalah kebaikan dan menolak segala bentuk kejahatan. Bagaimana
tidak humanis jika setiap agama bercita-cita untuk memanusiakan manusia,
memberi makna pada kehidupannya, berbuat baik pada sesama, melarang tindakan
yang membahayakan orang lain. Nilai-nilai inilah yang dalam sejarah kemanusiaa
telah memoles wajah dunia menjadi manusiwi.
Tapi
bersamaan dengan itu, kita terpaksa harus menelan kekecewaan yang mendalam
bahwa nilai-nilai luhur transendental itu tidak selamanya menjadi kenyataan
kehidupan yang menyejarah. Sejarah agama justru sering kali diwarnai dengan
nuansa dehumanis yang pekat, jauh dari nilai-nilai luhur yang diidealkan. Dalam
dataran idealitas, kita dapat saja meyakini bulat-bulat bahwa agama kita
benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tapi kita tidak dapat
menutup mata dengan kenyataan bahwa salah satu sisi paling kelam dalam sejarah
manusia adalah sejarah agama yang telah menimbulkan korban-korban kemanusiaan
yang luar biasa massif. Puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan nyawa melayang
atas nama agama, dari yang masih berada dalam kandungan sampai kakek-kekek tua,
entah bermakna atau sia-sia.
Di
dalam setiap peradaban, termasuk peradaban agama, hampir selalu kita temukan
sejarah yang dibangun di atas cucuran darah dan keringat manusia yang
seharusnya menikmati hasil-hasil peradaban dalam kedamaian dan ketenangan. Ali
Syari’ati melukiskannya dalam kalimat yang sangat ekspresif: “Lagi-lagi, atas
dalih “perang suci”, kami dipaksa untuk bertempur. Kami harus korbankan
anak-anak kami yang lugu hanya untuk kepentingan “tuhan”, kuil, dan berhala!”.[1] Ayat-ayat Tuhan diukir di atas pedang terhunus yang
dengannya, kepala-kepala melayang seolah tak berharga. Tragisnya, pembunuhan
ternyata tidak hanya terjadi di medan perang, di dalam tempat ibadah pun,
terjadi pembunuhan.[2] Rumah Tuhan telah dikotori oleh darah. Rodney Stark
mencatat, bahwa perbedaan agama telah menyulut beberapa konflik antar golongan
yang paling brutal dalam sejarah manusia.[3]
Kita
tahu persis, tidak satupun agama di dunia ini yang bercita-cita membuat sebuah
tragedi dalam sejarah kemanusiaan. Justru agama datang dengan janji keselamatan
dan kedamaian. Agama pada dasarnya mengajarkan cinta bukan kebencian, kedamaian
bukan peperangan. Islam menegaskan, menghilangkan nyawa seorang manusia sama
artinya dengan membunuh seluruh umat manusia, dan menolong kehidupannya berarti
menghidupkan seluruh umat manusia. Kata Tuhan: “Barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.[4] Sebuah ajaran yang sedemikian indah dan luhur. Karena
itulah, jika kemudian dalam sejarahnya, banyak terjadi pertumpahan darah atas
nama agama, itu adalah sebuah penghianatan atas agama itu sendiri.
Agama,
dengan demikian, harus dikembalikan kepada fungsinya semula, sebagai penebar
kedamaian di muka bumi. Hans Kung menegaskan dengan begitu persuasif:
"there will be no peace for our world unless there is peace among the
religion" ( tidak ada kedamaian dalam dunia tanpa kedamaian di antara
agama-agama).
Indonesia:
Sejarah Yang Tercabik
Kita
pernah dikenal sebagai bangsa yang menjadi contoh dari kerukunan hidup antar
umat beragama. Sebagai sebuah bangsa yang sangat plural, dengan beragam latar
belakang agama, kultur, etnis, ideologi dan seabrek perbedaan lainnya, adalah
prestasi yang membanggakan bahwa dalam sejarahnya, dunia pernah mencatat nama
bangsa kita sebagai sebuah bangsa yang mampu hidup secara damai dan
berdampingan di dalam perbedaan.
Amat
disayangkan, jika di kemudian hari, kita sendirilah yang telah mencabik-cabik
sejarah bangsa ini dengan catatan kelam kekerasan yang bernuansa agama. Konflik
Poso, Ambon adalah sebagian dari contohnya yang membuat malu bangsa kita. Belum
lagi serangkaian tindakan terorisme yang mengatasnamakan agama. Bali adalah
kasus mutakhir yang seluruh dunia mengecamnya sebagai tindakan biadab yang
mencabik-cabik rasa kemanusiaan kita.
Lantas,
kenapa agama yang cita-cita terluhurnya adalah keselamatan bagi seluruh umat
manusia tiba-tiba menampakkan wajah yang demikian berbeda?.
Banyak
cara untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam kasus Indonesia, apa yang selama ini
kita sebut sebagai kerukunan umat beragama itu, dalam kenyataan sejarahnya
ternyata menyimpan masalah. Kerukunan itu bukanlah hasil dari sebuah proses
kultural yang berlangsung secara natural dan berkesadaran, tapi kerukunan yang
dipaksakan oleh kekuatan politik otoriter Orde Baru. Sehingga selama ini kita
sesungguhnya hanya “pura-pura” rukun. Kerukunan itu tidak muncul dari arus
kesadaran kultural yang berproses dalam kehidupan masyarakat sendiri, sehingga
tidak benar-benar mengakar.
Orde
Baru, dengan pembangunan ekonomi sebagai panglimanya, sadar benar dengan
pentingnya stabilitas. Karena itu, dengan segala cara, diciptakanlah segala
perangkat untuk mewujudkannya. Dengan cara pandang seperti ini, penguasa Orde
Baru melihat bahwa pluralitas agama adalah sebuah potensi konflik yang dapat
membahayakan stabilitas. Maka diciptakanlah konsep SARA (Suku Agama Ras dan
Antargolongan).
Teori
SARA pernah begitu mengemuka di masa Orde Baru yang pengaruhnya hingga kini
masih juga kita rasakan. Dalam teori ini, Suku, Agama, Ras dan Antargolongan
dianggap amat peka, rentan, eksplosif, penuh resiko dan karena itu berbahaya.
Ignas Kleden membuktikan bahwa secara praksis, teori ini justru merugikan, dan
secara teoritis, kebenarannya amat sulit dibuktikan, sedang kekeliruannya dapat
ditunjuk dengan mudah.[5]
Secara
praktis, kalau benar bahwa hubungan antar agama itu penuh dengan kemungkinan
konflik dan kalau benar bahwa konflik itu dengan mudah menyulut penggunaan
kekerasan, maka tiap kelompok agama akan memilih untuk lebih baik berada dalam
kelompoknya sendiri, mengurangi kontak dan komunikasi dengan kelompok lainnya
dan kalau perlu tidak usah berhubungan sama sekali.[6]
Inilah
keyakinan yang hendak ditanamkan dengan teori SARA. Dan celakanya, keyakinan
ini kemudian dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hubungan antar
agama dipercaya penuh dengan potensi konflik, sehingga masing-masing penganut
agama cenderung bersikap eksklusif. Dampak lanjutannya adalah tidak adanya
saling pengertian antara pemeluk agama yang berbeda karena tidak adanya proses
dialog konstruktif akibat eksklusifitas ini. Dengan cara ini, potensi konflik
justru kemudian menjadi rawan. Karena itu, secara praksis, teori SARA justru
berbahaya.
Secara
teoritis, SARA didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan selalu mengandung konflik
dalam dirinya. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Orang dapat saja hidup dalam
perbedaan tanpa adanya konflik yang menyertai.[7] Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari,
sebelum dicampuri dengan kepentingan ideologi, ekonomi, politik, umat manusia
menjalin kehidupan bersama yang bersifat pluralistik secara alamiah dan
wajar-wajar saja.[8]
Dalam
lapangan kepentingan ideologi, ekonomi, dan politiklah, perbedaan agama menjadi
berwajah konflik. Kenyataan sejarah membuktikan, konflik agama tidak pernah
berdiri sendiri sebagai murni persoalan pertentangan teologis tapi konflik
agama selalu berkelindan dengan kepentingan kekuasaan. Proses sejarah ini
menyebabkan pemahaman dan penghayatan keagamaan bangsa kita cenderung bersifat
ideologis tertutup.
Dengan
melihat latar belakang sosio-historis semacam ini, salah satu yang perlu kita
lakukan adalah mengembalikan kenyataan akan pluralitas agama dalam kondisinya
yang wajar dan alami sebelum dicampuri oleh kepentingan kekuasaan. Untuk itu,
diperlukan reformasi kultural dalam relasi antar umat beragama. Kita perlu
membuka jalan agar interaksi antar umat beragama mampu menjadi media komunikasi
yang efektif untuk terciptanya perdamaian. Kebekuan dan eksklusifitas harus
dicairkan. Agama seharusnya menjadi jembatan untuk saling memahami, bukannya
saling mencurigai, saling menghargai, bukan saling membenci. Dalam konteks ini
menarik untuk mendiskusikan gagasan Kuntowijoyo tentang obyektifikasi Islam.
Obyektifikasi:
Agenda Kultural Hubungan Antar Agama
Bagi
Kuntowijoyo, obyektifikasi adalah jalan tengah bagi konflik ideologis yang
sering kali menyeruak ke permukaan. Obyektifikasi merupakan suatu prilaku atau
proses untuk mengobyektifkan suatu gagasan abstrak sehingga menjadi bersifat
eksternal dari pikiran subyek. Dengan demikian gagasan tersebut memperoleh
status obyektif sebagai eksistensi yang berdiri sendiri.[9]
Kuntowijoyo
membedakan prilaku obyektif menjadi dua, prilaku obyektif aktif dan pasif.
Pasif dalam arti menerima kenyataan obyektif yang disodorkan atau yang telah
ada dalam realitas kehidupan. Ketika kita membeli produk elektronik misalnya,
yang menjadi pertimbangan adalah kualitas dan harga barang tersebut. Jika
seorang sopir bus bekerja, ia tak akan menanyakan agama para penumpangnya. Yang
kedua adalah prilaku obyektif aktif yang tak lain adalah obyektifikasi itu
sendiri.[10] Jadi, obyektifikasi merupakan prilaku aktif untuk
mengobyektifkan gagasan-gagasan.
Obyektifikasi
adalah penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori obyektif.[11] Obyektifikasi Islam artinya penterjemahan nilai-nilai
Islam yang telah diserap ke dalam struktur kesadaran internal menjadi
bentuk-bentuk yang obyektif. Islam yang semula adalah nilai-nilai yang bersifat
subyektif, dengan obyektifikasi ditransformasikan menjadi nilai-nilai obyektif,
lepas dari sifat subyektifnya. Hal ini membedakannya dari eksternalisasi yang
dipakai untuk menunjuk pada proses kongkretisasi dari keyakinan yang dihayati
secara internal dalam bentuk-bentuk yang khas keagamaan. Obyektifikasi juga
merupakan kongkretisasi dari keyakinan internal tapi harus diwujudkan dalam
kategori-kategori obyektif yang semua agama dapat memahaminya tanpa harus
mengerti nilai-nilai asal. Kita dapat menyebut sebuah contoh. Dalam Islam, ada
ajaran tentang zakat. Melalui obyektifikasi, zakat akan diwujudkan dalam
cita-cita kesejahteraan dan keadilan ekonomi.
Berangkat
dari konsep obyektifikasi, Agama-agama akan menggarap beberapa agenda kultural
penting:
Pertama,
masing-masing agama harus menterjemahkan cita-citanya dalam terminologi
obyektif sehingga dapat diterima semua pihak.[12]
Salah
satu kendala yang sering menjadi penghambat bagi sebuah jalinan interaksi dan
komunikasi yang intens, aktif, dan progresif adalah tidak adanya upaya saling
memahami antar pemeluk agama. Masing-masing agama mempunyai kekhasan tersendiri
yang tidak dimiliki oleh lainnya.
Interaksi
dan komunikasi dimungkinkan untuk dapat terjalin dengan baik tatkala terdapat
satu pemahaman yang sebisa mungkin utuh antara pihak-pihak yang terlibat dalam
proses ini. Dalam sebuah proses komunikasi, bahasa menempati kedudukan yang
sangat sentral. Melalui bahasa, makna-makna disampaikan sehingga terjalin
interaksi intersubyektif untuk mencari kesepakatan bersama atau setidaknya
sebuah kesepahaman.
Di
sinilah letak permasalahannya, masing-masing agama memiliki ungkapan-ungkapan
yang secara nyata berbeda satu sama lain. Dalam situasi percakapan atau
komunikasi yang melibatkan variasi terminologis, proses pencapaian
intersubyektifitas akan terganggu. Kesalahpahaman dapat terjadi dalam proses
ini. Terminologi-terminologi yang sifatnya sangat subyektif tidak dapat
dipahami oleh para penganut agama lain. Memang bisa jadi, ada diantaranya yang
mampu memahaminya, terutama yang sudah terbiasa terlibat dalam proses dialog
antar agama, tapi jumlahnya sangat terbatas, karena itu tidak akan signifikan
untuk dapat memunculkan kesadaran intersubyektif diantara para pemeluk agama
yang berbeda secara luas. Disamping itu, sifat terminologi agama yang sangat
subyektif meniscayakan adanya sekat-sekat ideologis dan psikologis sehingga proses
untuk saling memahami menjadi terganggu.
Kita
bisa jadi sepakat dalam maknanya yang substansial dan transenden (melampaui
dimensi literal-terminologis), tapi sekat-sekat ideologis dan psikologis akibat
penggunaan terminologi yang bersifat subyektif seringkali menyebabkan munculnya
sikap egosentris yang menghalangi peleburan kesadaran menuju cita-cita bersama.
Kita dapat mengambil contoh. “Zakat” adalah sebuah terminologi yang khas Islam.
Saya yakin, tidak ada satu agama pun yang tidak memiliki kepedulian terhadap
nasib kaum papa. Tapi ketika konsep “zakat” ditawarkan pada publik dalam
bajunya yang subyektif Islam itu, hampir dapat dipastikan akan sangat sulit
untuk dapat memperoleh sebuah kata sepakat dari pemeluk agama yang berbeda.
Contoh lain adalah konsep “tauhid” (ajaran tentang keesaan Tuhan) yang dalam
Islam adalah ajaran fundamental. Agama-agama lain boleh jadi percaya dengan
keesaan Tuhan, tapi konsep “tauhid” itu akan ditolak karena sekat ideologis,
disamping tentu saja setiap agama mempunyai konsep keesaan tersendiri yang
bersifat unik.
Sebab
itulah, dalam proses interaksi dan komunikasi antar agama, agama-agama harus
menterjemahkan cita-citanya dalam terminologi obyektif sehingga dapat diterima
semua pihak. “Tauhid” misalnya, dalam interaksi antar umat beragama perlu
diterjemahkan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang semua agama dapat memahami
dan menyetujuinya. Pancasila adalah sebuah pengalaman sejarah yang penting.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Mahaesa” jelas adalah obyektifikasi dari prinsip
keesaan Tuhan yang diyakini oleh agama-agama dalam beragam konsepnya yang
bersifat subyektif. Terminologi ini terbukti dapat meredakan ketegangan akibat
pemakaian tujuh kata yang subyektif Islam dalam Piagam Jakarta.
Tentu
saja usaha untuk menyuguhkan cita-cita agama dalam terminologi yang obyektif
bukannya tanpa masalah karena bahasa sesungguhnya mencerminkan cara pandang.
Karena itu perbedaan terminologi seringkali menunjukkan adanya perbedaan konsep
atau cara pandang. Keesaan Tuhan misalnya, jelas berbeda antara Islam dan
Kristen. Dalam menghadapi perbedaan semacam ini, para pemeluk agama dituntut
untuk bisa legawa sebagai bagian dari demokrasi yang disamping mencari
kesepakatan juga menghargai perbedaan. Karena itu perbedaan “tafsir” atas sila “Ketuhanan
Yang Mahaesa” sebenarnya tidak perlu menyebabkan munculnya klaim yang
berlebihan tentang siapa yang paling berhak mengklaim diri sebagai wakil dari
sila tersebut. Setiap agama boleh saja meyakini bahwa konsep keesaan Tuhan yang
diyakininya adalah yang terbaik, tapi dalam konteks komunikasi antar pemeluk
agama, klaim seperti ini tidaklah produktif.
Pentingnya
penterjemahan cita-cita agama dalam terminologi yang obyektif pada hakekatnya
adalah untuk mencapai kesalingpahaman dengan umat agama lain melalui komunikasi
intersubyektif. Dalam Islam, terdapat ayat yang menggariskan urgensi dari
komunikasi intersubyektif semacam ini: “Hai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”[13] Proses saling mengenal (ta’aruf) adalah sebuah proses
intersubyektif untuk memperoleh pemahaman satu sama lain. Asumsi dasar dari
ta’aruf adalah adanya perbedaan subyektifitas, entah itu bahasa, bangsa, suku,
agama dan sebagainya.
Konsep
ta’aruf itu aktif, tidak pasif. Ta’aruf tidak sekedar mengakui perbedaan tapi
berusaha untuk saling memahami perbedaan. Ta’aruf tidak bermaksud melakukan
singkretisasi karena bahkan Tuhan pun tidak berkehendak menyatukan seluruh umat
manusia dalam satu agama. Ta’aruf dibutuhkan agar kita saling memahami.
Obyektifikasi adalah upaya untuk menyuguhkan cita-cita masing-masing agama agar
dapat dipahami oleh agama lain. Dalam konteks inilah, bahasa sebagai medianya,
menempati kedudukan yang sangat penting. Dengan demikian, obyektifikasi
terminologis dari cita-cita agama sebagai sebuah upaya aktif adalah bagian dari
proses ta’aruf.
Melaui
obyektifikasi terminologis inilah kita dapat mencegah terjadinya kesalahpahaman
yang sering kali menimbulkan ketegangan-ketegangan. Jika di masa Orde Baru,
dengan konsep SARA–nya, masyarakat cenderung takut untuk saling menyapa
perbedaan, karena memandangnya sebagai sebuah kelancangan, maka melalui
obyektifikasi terminologis, perbedaan itu terjembatani dengan media bahasa.
Interaksi antar umat beragama di masa Orde Baru cenderung “canggung” dan penuh
prasangka. Prasangka-prasangka subyektif yang kemudian memunculkan stereotype
jelas sangat menggaggu dan tidak sehat dalam sebuah komunikasi. Melalui
obyektifikasi terminologis, hal ini dapat dihindari karena kita punya bahasa
yang sama sebagai media untuk saling memahami. Proses komunikasi ini
lama-kelamaan akan mendekatkan hubungan antar agama. Kedua, hanya hal-hal yang
obyektiflah yang dikemukakan kepada umum.[14]
Obyektifikasi,
tidak dimaksudkan sebagai interaksi ke dalam, tapi keluar. Sedang ke dalam,
cukup dengan eksternalisasi.[15] Eksternalisasi itu kongkretisasi keyakinan subyektif
tetap dalam bentuknya yang subyektif, karena itu, eksternalisasi adalah untuk
internal umat suatu agama sendiri. Sedang keluar, kita perlu obyektifikasi.
Obyektifikasi mengemukakan hal-hal yang obyektif kepada umum seperti cita-cita
keadilan sosial, demokrasi, supremasi hukum atau penyelenggaraan negara yang
bersih. Sedang hal-hal yang subyektif seperti kebenaran agama masing-masing
dapat dipakai untuk konsumsi ke dalam.
Keluar,
kita tidak perlu berbicara tentang betapa tata cara penyembahan kita kepada
Tuhan, serta keyakinan ketuhanan dan kenabian kita adalah benar adanya,
sementara orang yang mengingkarinya berarti megingkari kebenaran. Pernyataan
semacam ini tentu saja tidak berguna karena masing-masing agama punya keyakinan
kebenarannya sendiri. Oleh karena itu, biarlah keyakinan subyektif kita itu
untuk konsumsi ke dalam, sementara keluar, kita berbicara tentang hal-hal yang
obyektif yang bisa dipahami semua orang.
Ajaran-ajaran
agama sebenarnya memiliki dua sisi: sisi subyektif dan sisi obyektif. Sisi
obyektif itu ada pada substansi universal dan tujuan kemanusiaannya, sementara
sisi subyektif itu ada dalam bentuknya atau implementasinya dalam konteks
internal relijius. Zakat misalnya, dalam konteks internal relijius (subyektif)
bertujuan untuk membersihkan harta, akan tetapi sesungguhnya sisi obyektif
zakat adalah kesejahteraan, pemerataan dan keadilan ekonomi bagi seluruh
rakyat. Sisi obyektif seperti inilah yang perlu dikemukakan.
Ketiga,
setiap agama harus mengakui secara penuh keberadaan segala sesuatu yang ada
secara obyektif.[16]
Salah
satu kelemahan mendasar sebagian umat beragama adalah kegagalan dalam
membedakan antara realitas dan ajaran normatif. Kita terlalu banyak berkutat
pada wacana-wacana normatif sehingga melupakan realitas. Hal ini erat kaitannya
dengan proses sosialisasi agama dalam masyarakat yang melulu pada aspek
normatif sementara dimensi empiris kurang atau bahkan tidak disentuh sama
sekali.
Akibatnya,
para pemeluk agama kemudian seringkali kebingungan atau tidak siap berhadapan
dengan realitas. Norma jelas sesuatu yang penting untuk menilai realitas, tapi
orientasi berlebihan terhadap norma, atau pada sebagian orang bahkan membabi
buta, membuat kita tidak bisa berpikir arif ketika mendapati kenyataan yang
tidak selalu sesuai dengan cita-cita normatif.
Pluralisme
adalah sebagian dari realitas obyektif semacam ini. Bagi mereka yang terlalu
berlebihan dalam orientasi normatif, bahkan cenderung absolutis, tentu tidak
pernah terpikir untuk memberi tempat bagi klaim kebenaran lain. Sikap keras dan
ekstrem terhadap agama lain (bahkan juga terhadap pemeluk agama yang sama yang
memiliki perbedaan pandangan) menunjukkan dengan jelas ketidaksiapan mereka
menghadapi kenyataan. Yang mereka tahu hanyalah bahwa Tuhan hanya punya satu
kebenaran dan kebenaran itu ada pada mereka, habis tak terbagi.[17] Mereka tidak pernah belajar dari kenyataan bahwa dalam
realitasnya, yang memiliki klaim kebenaran itu bukan hanya mereka tapi juga
orang-orang lain yang berbeda agama. Bagi mereka, realitas dan keyakinan
normatif adalah sama, oleh karena itu yang terjadi kemudian adalah penolakan
realitas karena tidak ada konformitas dengan norma. Sikap normatif mereka
adalah sama dengan sikapnya menghadapi realitas.
Sikap
seperti ini tentu saja dalam kehidupan masyarakat akan menimbulkan ketegangan.
Ketegangan itu bisa saja tetap tersembunyi, tapi ketika terdapat faktor pemicu
atau kepentingan politik tertentu, ketegangan itu akan segera meledak menjadi
konflik yang sulit dikendalikan.
Dengan
obyektifikasi kita dituntut untuk bisa bersikap arif terhadap realitas.
Realitas adalah hal yang tidak bisa ditolak sebagai sebuah keberadaan alamiah.
Memaksakan norma atas realitas adalah sebuah keputusasaan dan menandakan
ketidakmampuan dalam mensikapinya secara arif. Ini tentu tidak berarti kira
harus mengorbankan keyakinan normatif di hadapan kenyataan sosial. Memaksakan
norma kebenaran kita pada masyarakat yang sangat plural jelas tidak rasional
karena setiap orang punya klaim kebenaran sendiri. Dengan kata lain,
egosentrisme harus ditanggalkan.
Keempat,
tidak lagi berpikir kawan-lawan tapi perhatian ditujukan pada permasalahan
bersama.[18]
Selama
ini, banyak di antara kita yang terlalu sibuk berpikir dalam perspektif konflik
antara “golongan kita” dan “golongan mereka”. Kita jarang mau belajar dari
sejarah bahwa perspektif konflik seperti ini sering kali menimbulkan kekacauan
sosial. Komunisme adalah salah satu contoh ideologi yang mengembangkan
perspektif konflik. Akibatnya, di hampir semua Negara Komunis, para penganutnya
selalu menggunakan cara-cara kekerasan untuk dapat merebut kekuasaan dari
tangan penguasa sebelumnya. Di Indonesia sendiri, kita pernah mengalami sejarah
traumatis konflik sosial yang berdarah-darah ketika PKI masih bercokol.
Cara
berpikir seperti ini (“golongan kita” versus “golongan mereka”) hanya akan
mengakibatkan berlanjutnya ketegangan-ketegangan sehingga masalah-masalah
bersama bangsa yang lebih penting menjadi terlupakan. Kita seharusnya sadar
bahwa penentang umat saat ini bukan lagi “mereka” tetapi realitas obyektif yang
menjadi permasalahan bersama seperti kemiskinan, industrialisasi, ancaman
disintegrasi, kerusuhan sosial, terorisme dan sebagainya. Karena itu, yang
seharusnya kita kembangkan bukan perspektif konflik tapi kerjasama.
Menarik
apa yang dikemukakan Siti Aisyah bahwa paradigma dialog agama yang selama ini
berkembang cenderung manafikan elan transformatif dari agama. Dialog tidak
mempertimbangkan agama sebagai agen transformer dalam masyarakat. Karena itu ia
mengusulkan perlunya paradigma liberatif, paradigma dialog yang
mempertimbangkan elan transformatif agama. Paradigma ini diusulkan karena
dialog yang selama ini dilakukan tidak memasuki spektrum kepentingan kehidupan
manusia secara luas, seolah menganggap bahwa agama adalah wilayah privat dan
tidak ada kaitannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Konsekwensi lebih
lanjut, dialog harus mencapai korporasi. Artinya, ada sebuah kerja sama yang
real atau kongkret dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang
terjadi [19]
Rasa-rasanya,
kita memang sudah terlalu lelah dengan seabrek konflik antar agama yang terus
saja terjadi sepanjang sejarah manusia, seakan-akan kita memang tidak pernah
mau belajar dari sejarah yang telah mengatakan banyak hal pada kita. Sementara
di sisi lain, masalah-masalah sosial kemanusiaan yang menghadang di depan mata
terus saja bertambah dan bersifat lintas agama. Kemiskinan, perburuhan,
pemerintahan yang bersih, pendidikan murah, kesenjangan ekonomi, terorisme,
adalah masalah kemanusiaan yang tidak pandang bulu, tak peduli apapun agamanya.
Agama,
sebagai bagian penting dari kehidupan sosial selayaknya memberikan perhatian
yang serius pada masalah-masalah tersebut, sehingga interaksi antar umat
beragama benar-benar memiliki kontribusi nyata bagi peningkatan harkat hidup
manusia dan kemanusiaan. Jika agama-agama mampu bekerja sama dalam upaya
mengentaskan kemiskinan, keberpihakan pada rakyat kecil, memperjuangkan
keadilan sosial, maka agama akan muncul sebagai kekuatan sosial yang tidak
mudah dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik yang tidak bertanggung
jawab.
Kita
harus ingat bahwa masalah-masalah sosial adalah masalah yang bersifat lintas
agama dan budaya, karena itu masing-masing agama tidak bisa berjuang
sendiri-sendiri dalam proses transformasi sosial. Agama-agama harus bekerja
sama. Perbedaan, kata Tuhan, bukan agar kita bertengkar tapi agar kita berlomba
dan bekerja sama dalam proses transformasi sosial atau humanisasi (fastabiqul
Khairat); “Sekiranya Allah menghendaki niscaya ia menyatukanmu dalam satu umat,
tetapi Allah hendak menguji kamu atas karunia yang telah diberikan-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.[20]
Setiap
agama kiranya memiliki etos semacam itu. Dalam konteks Islam, Kuntowijoyo
mengenalkan etika profetik sebagai bagian integral dari kesadaran Islam. Etika
profetik itu disebutkan dalam surat Ali Imran (3): 110: “Engkau adalah umat
terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan (amar
ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar) dan beriman kepada Allah (iman
billah)”. Ayat ini harus dipahami secara aktif, bukan pasif. Artinya, status
umat terbaik itu bukanlah sesuatu yang given tapi harus diperjuangkan melalui
aktifisme sejarah dengan semangat profetisme. Dalam ayat di atas, etika
profetik itu ada tiga: humanisasi, liberasi dan transendensi, ketiganya adalah penterjemahan
kreatif Kuntowijoyo dari amar makruf, nahi munkar dan iman billah[21].
Humanisasi
artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan,
kekerasan dan kebencian dari manusia.[22] Humanisasi sesuai dengan liberalism Barat, hanya saja
dalam Islam, humanisasi itu berakar pada humanisme teosentris bukan humanisme
antroposentris yang kemudian terbukti telah menyebabkan proses dehumanisasi dalam
skala sedemikian total dan terbesar dalam sepanjang sejarah kemanusiaan. Untuk
menyelamatkan umat manusia dari dehumanisasi, kata Tuhan, kita perlu iman dan
amal saleh: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; Bagi mereka pahala yang
tiada putus-putusnya”.[23] Jadi, humanisme teosentris itu iman dan amal saleh.[24] Artinya, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi
tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri.[25] Liberasi artinya pembebasan, pembebasan dari belenggu
kemiskinan, struktur yang menindas, juga pembebasan dari kebodohan. Sedang
transendensi berarti menjadikan nilai-nilai transendental ketuhanan sebagai
bagian penting dalam proses membangun peradaban.
Dengan
etika profetik seperti inilah, agama-agama seharusnya mulai memikirkan
persoalan-persoalan bersama yang dihadapi bangsa Indonesia. Di tengah krisis multidimensi,
interaksi antar pemeluk agama dalam bentuk korporasi untuk mengentaskan
kemiskinan, mencerdaskan kehidupan rakyat, melakukan penyadaran politik,
membela kaum tertindas kiranya sangat diperlukan agar tema hubungan agama tidak
terus berkutat pada konflik tapi pada upaya untuk bersama-sama menjalankan
tugas transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang egaliter, humanis dan
transenden.
Demikianlah
keempat agenda kultural obyektifikasi nilai-nilai agama dalam konteks interaksi
antar umat beragama. Kiranya, usaha-usaha semacam ini memang bukan persoalan
yang mudah. Di sana-sini kita temukan kendala, baik internal umat beragama
sendiri maupun kendala-kendala eksternal. Akan tetapi sebagai sebuah ide yang
konstruktif, obyektifikasi kiranya relevan untuk terus diperjuangkan dalam
konteks komunikasi antar umat beragama agar sejarah agama tidak terus
mengulang-ulang cerita lama kekerasan tapi menapak maju ke arah yang lebih
manusiawi.
Penutup
Di
tengah berbagai masalah yang muncul dalam sejarah panjang agama-agama di dunia,
agama, disamping pernah dituduh sebagai biang kerok beberapa kejahatan
kemanusiaan yang sangat mengerikan (peperangan), tampaknya masih dipercaya
banyak orang dapat membawa secercah harapan bagi masa depan kemanusiaan yang lebih
baik. Harapan ini tentu saja sangat beralasan karena agama pada dasarnya tidak
pernah mengajarkan kekerasan tapi cinta kasih dan kepedulian pada sesama.
Kesempatan ini hendaklah digunakan oleh para pemeluk agama untuk membuktikan
bahwa agama bukanlah sumber konflik tapi justru menawarkan makna bagi
kemanusiaan yang telah semakin kehilangan maknanya di dunia modern. Agama
adalah semesta makna transenden yang menawarkan agenda-agenda humanisasi,
liberasi dan transendensi bagi seluruh umat manusia, tanpa pandang bulu.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan, “Sinkretisasi
Etika Kemanusiaan Agama-agama, Mencari Solusi Konflik”, Kompas Cyber Media
(http://www.kompas.com), 14 Desember 2001.
Ali Syari’ati, Para Pemimpin
Mustadh’afin: Sejarah Panjang Perjuangan Melawan Penindasan dan Kezaliman,
Bandung: Muthahhri Paperback, 2001
Ignas Kleden, “SARA: Praktek dan
Teori (1 dan 2)”, Kompas, 11 dan 12 Desember 1998.
Kuntowijoyo, “Agenda Umat Islam”
(I dan II), Republika, 15 dan 16 Mei 2000.
-------------, Identitas Politik
Umat Islam, kata pengantar M. Syafi’i Anwar, Bandung: Mizan, 1997
-------------, Muslim Tanpa
Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transendental, Bandung: Mizan, 2001
-------------, “Objectifikasi”,
Suara Muhammadiyah, Nomor 22 tahun ke-82 (1997)
-------------, “Obyektivikasi :
Agenda Reformasi Ideologi”, Kompas, 13 Juli 1999
-------------, Paradigma Islam:
Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam
Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000
Rodney Stark, One True God (One
True God: Historical of Monotheism), alih bahasa M.
Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam
dan Nizam Press, 2003
Siti Aisyah, “Beyond Pluralism:
Kritik Implementasi Dialog Agama”, dalam Kompas Cyber Media
(http://www.kompas.com), 30 Desember 2002.
“Sebagian Besar Agama Menerima
Pluralisme”, wawancara dengan Franz Magnis Suseno dalam http://www.islamlib.com
FOOTNOTES
[1] Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin: Sejarah
Panjang Perjuangan Melawan Penindasan dan Kezaliman, Bandung: Muthahhri
Paperback, 2001, hlm. 5.
[2] Dalam sejarah Islam, khalifah Umar bin Khattab dan Ali
bin Abi Thalib terbunuh di dalam masjid
[3] Rodney Stark, One True God (One True God: Historical of
Monotheism), alih bahasa M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam dan Nizam Press,
2003, hlm. 169.
[4] QS. al-Maidah (5): 32
[5] Ignas Kleden, “SARA: Praktek dan Teori (1 dan 2)”,
Kompas, 11 dan 12 Desember 1998.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas
Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 69. Baca juga
wawancara dengan Franz Magnis Suseno, “Sebagian Besar Agama Menerima
Pluralisme”, http://www.islamlib.com
[9] Kuntowijoyo, “Objectifikasi”, Suara Muhammadiyah, Nomor
22 tahun ke-82 (1997), hlm. 62.
[10] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, kata
pengantar M. Syafi’i Anwar, Bandung: Mizan, 1997, hlm. 66.
[11] Ibid., hlm. 66-67.
[12] Kuntowijoyo, “Obyektivikasi : Agenda Reformasi
Ideologi”, Kompas, 13 Juli 1999 dan “Agenda Umat Islam” (I dan II), Republika,
15 dan 16 Mei 2000.
[13] QS. al-Hujurat (49): 13.
[14] Kuntowijoyo, “Agenda.”
[15] Kuntowijoyo, Identitas., hlm. 68.
[16] Kuntowijoyo, “Obyektivikasi.”
[17] Abdul Munir Mulkhan, “Sinkretisasi Etika Kemanusiaan
Agama-agama, Mencari Solusi Konflik”, Kompas Cyber Media
(http://www.kompas.com), 14 Desember 2001.
[18] Kuntowijoyo, “Obyektivikasi.”
[19] Siti Aisyah, “Beyond Pluralism: Kritik Implementasi
Dialog Agama”, dalam Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), tanggal 30
Desember 2002.
[20] QS. al-Maidah (5): 48.
[21] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama,
Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan,
2001, hlm. 357-375
[22] Ibid., hlm. 364-365.
[23] QS. al-Tin (95): 4-6.
[24] Kuntowijoyo, Muslim., hlm. 369.
[25] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi,
Bandung: Mizan, 1991, hlm. 229.
Dikutip
dari Husnul Muttaqin, “Agenda
Reformasi Kultural Relasi Antar Umat Beragama di Indonesia”, Millah
(Vol. IV, No. 1) 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar