Kekuatan media
sebagai alat pengubah sosial makin terwujud. Peran media massa tak lagi
terbatas pada fungsi penyebaran informasi, edukasi, dan hiburan. Media telah
menjelma menjadi sosok baru dengan menciptakan ruang publik dan perlahan
menjadi ”lembaga publik” yang dipercaya.
Menjelang
berlangsungnya perhelatan politik Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014,
sorotan publik terhadap posisi dan peran media kembali hangat. Bersama dengan
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, media telah jadi ”pilar keempat”
demokrasi.
Pasal 2 Ayat
(3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers
menyebut peran pers sebagai ”…partisipasi masyarakat melakukan kontrol sosial
yang konstruktif”. Di tengah pengungkapan arus suap dan korupsi, media adalah
satu-satunya lembaga yang dipandang masih relatif bisa dikategorikan ”sehat”
dari unsur kepentingan politis ataupun materi. Responden dalam jajak pendapat
KompasMei 2012 menempatkan media sebagai lembaga tepercaya penyalur aspirasi.
Media ibarat
tumpuan terakhir publik sebagai alat kontrol proses penyelenggaraan negara.
Kekuatan pers menggerakkan persepsi publik besar dampaknya. Dari rangkaian
jajak pendapat telepon terungkap, hanya gempuran pemberitaan atas isu
pelanggaran hukum atau penyimpangan moral saja yang relatif efektif mengubah
persepsi. Sementara itu, efek pencitraan politik melalui iklan politik dan
semacamnya masih disikapi secara berbeda-beda oleh publik.
Bukti di
Anggodo
Jika ditilik,
makin strategisnya peran media terjadi bersamaan dengan hadirnya lembaga negara
bentukan era reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan
Korupsi.
”Kolaborasi”
ketiga elemen demokrasi itu terlihat jelas saat sidang MK (3/11/2009) yang
memutar rekaman percakapan Anggodo Widjojo dan disiarkan langsung berbagai
televisi. Esok harinya, isi rekaman itu kembali dimuat berbagai media cetak.
Substansi rekaman dan nuansa yang tercipta memunculkan ”obyektivasi” publik
dalam menilai jual beli perkara hukum Anggoro dan Anggodo yang sebelumnya hanya
ada di tataran dugaan.
Gempuran
penyajian peristiwa yang makin utuh, makin dramatis, dan bahkan ”berlebihan”
kini makin sering ditampilkan media. Media juga makin sering menggunakan ukuran
kuantitatif dan hasil riset lembaga penelitian dalam mengukur penerimaan publik
atas wacana politik. Alhasil, yang dipandang ”berhasil” adalah yang memenangi
wacana publik di media. Domain yang dipakai media menggunakan ukuran kuantitas
yang terkadang disertai kekuatan nada pemberitaan (tone) sebagai barometer
akseptabilitas.
Ambil contoh
jelang Pemilu 2014. Sejumlah stasiun televisi sudah menampilkan acara debat
capres dan liputan khusus. Tak ketinggalan surat kabar mengemas liputan khusus
sosok populer kandidat capres. Di media sosial, catatan percakapan netizen
terhadap figur calon presiden tak kurang semarak.
Bagaimanapun,
media semakin besar perannya dalam menampilkan tokoh-tokoh baru idola
masyarakat baik di tingkat nasional maupun daerah. Masyarakat yang merasa
kecewa, lelah, dan bosan dengan perilaku elite politik dan parpol yang korup
kini mengalihkan pilihan kepada sosok yang bersih dari korupsi.
Peran kelas
menengah
Dari sejumlah
hasil jajak pendapat Kompas terlihat pemberitaan masif atas kasus suap kuota
daging impor dan kasus Hambalang berperan memerosotkan citra Partai Keadilan
Sejahtera dan Partai Demokrat di mata publik hingga titik terendah. C Wright
Mills dalam buku The Power Elite menunjuk kekuatan opini publik masyarakat
kelas menengah perkotaan sebagai ”fitur terpenting” yang mampu mengorganisasi
diri secara otonomi bahkan merealisasikan ide menjadi gerakan.
Di tengah
semakin kuatnya arus ”ranah publik media”, ada bahaya mengintai. Ellis S Kraus
dalam buku Democracy and The Media mengingatkan media juga bisa terjerumus
menjadi ”peliharaan” pemilik modal, penguasa, ataupun kepentingan partisan
lainnya. Dalam format ini, media jadi alat komunikasi antara penguasa dan
rakyat, tetapi dengan tujuan memobilisasi dukungan terhadap kebijakan,
otoritas, dan kinerja.
Konteks
politik memang memungkinkan untuk hal itu. Masuknya sejumlah pemilik media ke
politik praktis membuat aspek pengawasan kampanye di media semakin rawan. Tiga
perempat responden jajak pendapat Januari 2013 mengungkapkan kekhawatiran ini.
Toto SuryaSningtyas, Ujian Lembaga Tepercaya", KOMPAS, 08 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar