Kompas telah menurunkan tajuk (10/1)
yang langsung membangkitkan kenangan indah selagi saya belajar di Sorbonne,
Perancis. Tajuk ini membahas buah pikiran kimiawan Ilya Prigogine, peraih Nobel
1977, demi pemahaman keadaan Indonesia yang mengkhawatirkan dewasa ini.
Pemikiran teoretisnya tentang
”struktur disipatif”, creation of order through disorder, telah dielaborasi
oleh sosiolog Edgar Morin jadi suatu metode berpikir antisipatif tentang
(perkembangan) sesuatu kejadian: dari ”tata tertib” (order) ke ”kekacauan”
(disorder) ke ”interaksi” dan ke ”tata tertib kembali” (organisasi).
Perbuatan sosiolog ini kiranya mirip
dengan apa yang pernah dilakukan oleh matematikawan Laplace terhadap karya
Newton tentang alam semesta. Dia menciptakan rumus-rumus matematika canggih
sebagai penjelasan nalariah mengenai hal-hal yang belum terjelaskan Newton
dengan alasan ”invisible hand”. Dengan rumusan matematikanya, Laplace mampu
membilang tiap keadaan masa datang dan masa lalu dalam sistem alam semesta.
Dia menunjukkan karyanya kepada
Napoleon. Setelah mempelajarinya, sang Kaisar menanyakan mana kehadiran Tuhan,
pencipta alam semesta ini. Laplace menjawab dengan ungkapan, yang kemudian
menjadi begitu ”historis”, berbunyi: Sire, je n’ai pas besoin de cet
hypothese—Tuhan, saya tidak memerlukan hipotesis itu.
Saya pernah bertanya kepada Abdus
Salam, fisikawan Pakistan, bagaimana pendapatnya tentang ungkapan ini. Dari
jawabannya tentang hubungan antara kesalehan dan nalar (akal), saya simpulkan
bahwa tak menyebut Tuhan dalam usaha merumuskan hukum alam bukan berarti tak
beriman, justru karena mengagumi Sang Pencipta alam secara ex-nihilo. Setelah
saya kembali ke Tanah Air, Abdus Salam meraih Nobel Fisika pada 1979.
Pembelajaran Sejarah
Tajuk rencana Kompas menyatakan
betapa pemikiran Ilya Prigogine merupakan suatu jembatan antara ilmu eksakta
dengan ilmu sosial. Memang benar. Penjembatanan ini berupa suatu pembelajaran
baru ilmu pengetahuan yang pernah dibahas Ortega Y Gasset, filosof Spanyol,
awal abad XX. Dia adalah—menurut Albert Camus, peraih Nobel Sastra 1957 dari
Perancis—penulis terbesar Eropa sesudah Nietzsche. Pembelajaran baru ini adalah
pengkajian ilmu fisika selaku ”disiplin kebudayaan” di samping sebagai ”disiplin
ilmiah”. Peruntukan ganda ini mengingatkan adanya perbedaan antara suatu
”disiplin kebudayaan” yang secara vital terkait pada hidup dan kehidupan dan
the corresponding ”disiplin ilmiah” yang mengasuh ”disiplin kebudayaan” tadi.
Fisika dan metode kerja keilmuannya
merupakan salah satu instrumen esensial dari berpikir dan berpenalaran modern.
Ia adalah ciptaan yang diwarisi oleh seluruh humanitas. Ke dalam ilmu
pengetahuan yang satu ini telah dipompakan disiplin intelektual selama hampir
lima abad. Kajian fisika selaku ”disiplin kebudayaan” berusaha menggali ide
vital yang dikandung doktrinnya tanpa terlalu menonjolkan teknikalitas khas
(matematika canggih) dari penalaran fisika.
Doktrin fisika terkait erat dengan
konsep manusia tentang Tuhan, ketuhanan dan masyarakat, tentang materi dan
bukan-materi, bersama dengan semua esensial lain untuk suatu kehidupan yang
mencerahkan. Melalui pemaparan asas-asas fisika dan penelusurannya, dapat
dijelaskan jalannya evolusi historis dari asas-asas tersebut.
Ide itu dikatakan ”vital” karena ia
adalah persepsi kita, makhluk manusia, menjalankan dan mengatur hidup kita.
Jadi, ia merupakan seperangkat keyakinan hidup, sebuah katalog dari pendirian
aktif kita tentang natur dunia kita beserta sesama makhluk yang mendiaminya, keyakinan
mengenai hierarki dari nilai sesuatu. Adapun sistem nilai yang dihayati, per
definisi, adalah kebudayaan.
Ide vital mengenai hidup dan bagi
kehidupan serta dunia yang diciptakan disiplin ilmiah jadi kian jelas melalui
pemaparan tentang gerakan-gerakan besar dari sejarah yang telah mengantar
humanitas kepemisahan jalan-jalan kehidupan selama ini. ”Disiplin kebudayaan”
dari ilmu sejarah bisa membantu pengembangan penilaian manusia karena ia
menunjuk rangkaian kasus pengambilan keputusan di saat-saat krusial atau apa
yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pemimpin dalam kondisi tertentu.
Machiavelli dan Bismarck
menyimpulkannya sebagai pembelajaran sejarah. Bukankah Bung Karno juga
cenderung berpikir begitu dengan mengatakan ”jas merah”, jangan melupakan
sejarah. Jenderal Vo Nguyen Giap mampu memimpin pasukannya mengusir Perancis
dan Amerika dari Vietnam dengan pembelajaran ilmu sejarah selaku ”disiplin
kebudayaan”. Di zaman kolonial, dia guru sejarah sekolah menengah di Saigon dan
tak pernah dapat pendidikan formal kemiliteran. Kepiawaian berperang diperoleh
dari mempelajari kiat berperang Napoleon dan Jomini, marsekal kesayangan sang
Kaisar.
Diskusi yang Mencerahkan
Diskusi interaktif dalam kelas
selalu lebih meriah dan mencerahkan jika kuliah mengenai ”disiplin kebudayaan”
dari sesuatu ilmu pengetahuan karena diikuti oleh lebih banyak mahasiswa dari
aneka disiplin spesialis, lebih-lebih kalau dipandu oleh Prof Edgar Morin. Dia
sangat meminati gejala multidimensional dan bukan disiplin yang membelah satu
dimensi dalam gejala ini. Menurut dia, segala yang human adalah sekaligus
psikis, sosiologis, ekonomis, historis, demografis. Jadi, penting bahwa
aspek-aspek tersebut tidak dipisah-pisah, tetapi bergabung menuju visi
poliokuler. Artinya, orang menyiapkan diri menjadi ”a specialist in the
construction of the whole”, suatu kualitas yang diniscayakan bagi pemimpin,
terutama di bidang ketatanegaraan dan politik.
Tak jarang diskusi dilanjutkan para
mahasiwa di klub-klub studi, di trotoar kafe-kafe yang bertebaran di sekitar
Sorbonne. Keunikan diskusi lanjutan ini adalah bahwa ia bisa diikuti siapa
saja, termasuk turis yang sedang lewat, hanya bermodal secangkir kopi sebagai
sewa kursi. Kalau cuaca sedang baik, diskusi kadang dilakukan di Taman Luxembourgi
yang berlokasi tidak jauh dari Sorbonne. Para peserta diskusi duduk atau
tiduran di rumput, tanpa bayaran.
Suatu ketika diskusi di taman ini
berupa ”disiplin kebudayaan” dari ilmu biologi. Seperti biasa, ada saja
orang-orang yang bukan mahasiswa turut bicara. Salah seorang di antaranya
sangat mengesankan karena pembahasannya teratur, betul-betul mengena dan
bermutu, tentang apa-apa yang sedang didiskusikan. Bahasa Perancisnya lancar
dan sesekali, kelihatan tanpa disengaja, telontar ungkapan dalam kata-kata
Belanda. Saya terpaksa menerjemahkannya ke bahasa Perancis untuk teman-teman
mahasiswa.
Agak lama dia turut berdiskusi,
kemudian pergi begitu saja. Para mahasiswa tak peduli karena orang boleh datang
dan pergi sesuka hati. Diskusi berjalan terus. Setelah bubar, salah seorang
peserta asing, bukan mahasiswa, mengatakan bahwa orang yang sangat mengesankan
itu adalah seorang guru besar dari Universite Libre di Brussel, Belgia, dan
sedang didesas-desuskan sebagai salah seorang calon laureat Nobel, bernama Ilya
Prigogine.
Daoed Joesoef,
ALUMNUS UNIVERSITE
PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE
Sumber : KOMPAS, 24 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar