Pemerintah
punya jurus ”ajaib” buat meredam penderitaan rakyat miskin yang dihantam
kenaikan harga BBM. Jurus ”ajaib” itu tak lain adalah bantuan langsung
sementara masyarakat alias BLSM yang bisa disingkat ”balsem”.
Masalahnya,
balsem hanya bisa menyembuhkan rakyat miskin yang terkilir. Padahal, mereka
sedang digerogoti ”kanker” ekonomi ganas.
Jutaan
”sel-sel kanker” yang ditimbulkan kenaikan harga kebutuhan bahan pokok dan jasa
semakin meruyak ke seluruh tubuh rakyat miskin. Mereka yang berpenghasilan Rp
20.000-Rp 50.000 per hari, misalnya, pastigulung koming. Belum lagi, jika
mereka dihantam biaya kesehatan dan pendidikan yang congkak menertawakan
kemiskinan mereka. Sampai di manakah uang balsem yang cuma Rp 150.000 per bulan
dan hanya berlaku empat bulan?
Latihan
menderita
Bagi
rakyat miskin yang nrimo ing pandum (ikhlas menerima jatah), uang balsem itu
pasti disyukuri. Mereka menilai, pemerintah baik hati, bahkan mereka merasa
berutang budi yang akan dilunasi dalam Pemilu 2014.
Bagi
mereka yang kecewa dan marah, uang balsem dianggap sebagai penghinaan karena
terlalu kecil jumlahnya, tetapi tidak mampu ditolak demi membungkam tangis
keluarga. Tetap mengutuk atau setidaknya menggerundel. Mereka pun akhirnya
pasrah: daripada tidak kecipratan apa-apa. Dalil optimisme fatalistik pun
berlaku di sini.
Sementara
bagi mereka yang menyikapi penderitaan secara jenaka dan cerdas, pemberian uang
balsem itu dianggap semacam metodologi pemerintah melatih dan mendidik rakyat
miskin supaya tetap tahan banting dihajar penderitaan yang nggegirisi.
Ya,
hitung-hitung pemerintah mengajari rakyat miskin untuk lebih gigih meningkatkan
dosis asketisme meskipun mereka sudah sangat paham bahwa day to day rakyat
sangat terlatih menghindari godaan material dan hedonisme karena memang tidak
pernah menjumpainya. Rakyat miskin diam-diam tertawa melihat pemerintah
berkhotbah tentang pentingnya hidup prihatin di tengah orang-orang yang sudah
mencapai keprihatinan paripurna.
Terkait
uang balsem, sangat mungkin rakyat tidak punya prasangka politik terkait dengan
perebutan kekuasaan. Bagi mereka, tidak ada gunanya lagi membahas perilaku para
penyelenggara negara dan pemerintahan yang lebih sering mengecewakan daripada
melegakan.
Diam-diam,
sambil mendongkol di hati, mereka pun menyimpulkan bahwa para penyelenggara
negara/pemerintahan itu harus ”kejam” kepada rakyatnya sendiri demi
menggembleng karakter. Semakin canggih ”kekejaman” itu, rakyat miskin semakin
”memiliki” karakter kuat (sebagai orang susah). Jadi, untuk hidup susah pun
ternyata rakyat miskin harus dididik! Sebagian rakyat yang lain pun tersenyum
masam sambil berucap, ”Edan, tega nian!”
Logika
kartun
Kelas
menengah, baik yang berada dalam lingkaran kekuasaan maupun yang pro-ekonomi
liberal dan diuntungkan kebijakan penguasa, pasti menganggap pemerintah telah
menempuh langkah jitu dengan mencabut subsidi BBM. Membicarakan penderitaan
rakyat miskin dianggap tidak relevan berdasarkan hitungan matematika ekonomi
liberal.
Sementara
rakyat miskin lebih menuntut pemerintah untuk sembodo, konsekuen, dan mampu
mengatasi melambungnya harga-harga kebutuhan bahan pokok dan jasa akibat
kenaikan harga BBM.
Selama
ini, sikap sembodo nyaris tidak muncul dalam kebijakan pemerintah. Harga-harga
kebutuhan bahan pokok dibiarkan liar di pasar. Rakyat miskinlah yang akhirnya
berada di garda depan penderitaan.
Dalam
setting buram itu, ternyata masih ada komedi pahit yang dimunculkan seorang
menteri. Dengan wajah polos dan gaya naif, ia tega berfatwa, ”Memang untuk
sementara masyarakat pasti shocked akibat kenaikan harga kebutuhan pokok,
tetapi lama-lama juga akan biasa dan menganggap semuanya normal-normal saja.
Masyarakat akan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.”
Pak
menteri yang ”bijak bestari” itu mungkin menganggap rakyat miskin tak lebih
dari manusia kartun dalam komik atau film animasi yang selalu tahan banting dan
tak bisa mati meskipun terbanting-banting.
Logika
”kartun” ala pak menteri itu rupanya juga dimiliki para wakil rakyat yang pro
rezim dan kalangan eksekutif yang memang sudah berlari jauh dalam trek ekonomi
liberal. Dalam benak mereka, yang ada hanyalah kemegahan pasar bebas dan sikap
pembiaran nasib buram bangsa yang ditaklukkan menjadi konsumen. Tanpa sadar
mereka pun telah bermetamorfosis menjadi lurah pasar, carik pasar, satpam
pasar, atau
mungkin malah ada yang jadi makelar.
Mereka
lupa, ketika negara berubah menjadi pasar bebas, yang ada hanyalah kemenangan
kekuatan besar menerkam kekuatan kecil. Nasib kekuatan kecil ini akan lebih
buruk lagi. Mereka sudah hancur masih disalahkan: salahnya kalian lemah. Rakyat
kecil pun menjerit, ”Di mana negara, di mana pimpinan? Kalian ngumpet di mana?!”
● sumber ke 2 dari pak Budi Santoso.
Indra
Tranggono, "Balsem” untuk Rakyat Miskin", KOMPAS, 06 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar