Menjadi sederhana itu ternyata tidak mudah, konsekuensinya harus siap dianggap
‘ hanya’ sebagai biasa-biasa saja.’
Kalau
penulis harus mengevaluasi (apapun) yang berkaitan dengan HMI dari dulu hingga
kini, itu adalah hal yang barangkali mustahil. Bagaimana mungkin HMI yang sudah
berumur 66 Tahun dengan perjalanan panjang yang berliku-liku dievaluasi oleh
penulis yang baru empat tahun mengenal HMI?, itu pun tidak terlalu serius. Apa
yang penulis lakukan ini tidak lebih dari sekedar refleksi tentang HMI yang
jauh dari memenuhi syarat untuk dikategorikan ‘ilmiah.’ Penulis melihat HMI
dengan kapasitas pengetahuan seorang kader biasa.
Sebagai
organisasi, HMI tidak bisa dibandingkan dengan, misalnya, Muhamadiyah, Persis,
Nahdhatul Ulama (NU) maupun partai politik yang memiliki banyak ‘apa-apa’ dan
memiliki peran yang langsung (secara fisik) bisa dirasakan oleh masyarakat. HMI
‘hanya’ organisasi yang tidak punya sekolah, pesantren, mushalla, masjid apalagi
rumah sakit. Tetapi karena sejarah mengakui bahwa HMI memiliki peran dalam
sejarah Indonesia menjadikannya tidak
bisa untuk disebut organisasi ‘hanya’. Barangkali karena peran besar itulah
beberapa tokoh Indonesia lebih sering disebut ‘mantan’ HMI, misalnya – untuk
menyebut salah satu nama – Nurcholis Madjid, meskipun ia juga mantan santri
Gontor, mantan mahasiswa UIN Jakarta tapi sebutan “Mantan Ketua PB HMI” lebih
sering disematkan kepadanya. Ke-tidak-hanya-an HMI juga terbukti dari banyaknya
alumninya yang memiliki posisi penting dalam lembaga pemerintah maupun lembaga
non pemerintah sehingga kemudian menimbulkan banyak spekulasi tentang HMI.
HMI
adalah organisasi perkaderan dan perjuangan. Praktek Perkaderan dan perjuangan
yang dimaksud tidak menekankan pada aspek materil, melainkan aspek non-materi
berupa aspek intelektual dan spritual. Oleh karena itu, membicarakan
keberhasilan HMI dan membesar-besarkannya karena banyak tokoh ‘besar’ (penulis
lebih setuju jika disebut tokoh terkenal) yang dilahirkan serta peranannya yang
telah direkam oleh sejarah, bagi kalangan anggota aktif HMI menurut penulis
tidak terlalu penting, meskipun juga tidak bisa diabaikan sama sekali. Toh,
sekarang HMI masih hidup dan masih berproses. Jika diibaratkan dengan manusia,
membesar-besarkan dan menyanjung-nyanjung manusia yang masih hidup tidak
terlalu baik, karena sisa umur sejatinya adalah lahan untuk ujian. Menurut
penulis yang lebih penting untuk dibicarakan para anggota HMI adalah tugas HMI,
misalnya hal terbaik apa yang mesti dilakukan untuk HMI saat ini?. HMI hadir
sejatinya tidak bertugas melahirkan tokoh besar atau berperan besar bagi bangsa
dan negara ini. HMI hadir justru sebagai wadah bagi Mahasiswa untuk memperdalam
dan mengamalkan wawasan keagamaan (Islam), keilmuan, pengalaman sekaligus
sebagai ruang belajar bagi para mahasiswa untuk membina diri agar mampu
mengenal bahwa dirinya adalah manusia. Itu yang utama. Kalaupun nantinya,
mahasiswa yang pernah menjadi anggota HMI bisa berperan besar dan lahir sebagai
tokoh besar itu hanyalah manfaat turunan yang tidak mutlak. Tidak mutlak
maksudnya, HMI tidak bisa menjamin bahwa semua anggotanya akan menjadi tokoh
besar dan tidak bisa mengaku-aku tokoh besar yang mantan aggota HMI itu 100%
produk HMI.
HMI
Seolah-olah
Dalam
proses pembinaan dan perjuangan, HMI menghadapi keniscayaan para anggotanya
yang memiliki jenis karakter dan kepentingan yang beragam. Di antara mereka ada
yang mau dibina atau membina diri, ada yang tidak suka, dan ada pula yang
setengah-setengah. Hal ini bukan berarti mereka (yang tidak mau) tidak ingin di
HMI, tetapi barangkali ia merasa tidak
terwadahi di HMI atau kepentingannya telah terpenuhi. keberagaman itu akan
melahirkan produk yang beragam pula. Yang jadi masalah, jika ada (mungkin
banyak, dan termasuk penulis) mahasiswa yang disebut, diakui, dikenal dan
bahkan senang mengaku-ngaku dirinya sebagai anggota HMI tetapi tidak
mencerminkan perilaku HMI atau tidak mau menjaga nama baik HMI.
Jika
masalah itu melanda HMI maka yang terjadi adalah banyak mahasiswa yang menjadi
anggota HMI seolah-olah. Ia seolah-olah anggota HMI padahal ia tidak mengerti
HMI. Ia mengaku anggota HMI tapi tidak pernah ikut kegiatan HMI, tidak pernah
baca pedoman-pedoman HMI, tidak pernah mau terlibat dalam kegiatan HMI, tidak mau
mengikuti jenjang perkaderan di HMI, tidak pernah peduli dengan HMI dan tidak
pernah-tidak pernah yang lain yang beraroma HMI.
Sebagagaimana
lazimnya zaman-zaman sebelumnya -kata Zawawi Imron- modernitas selalu
melahirkan dilema-dilema baru, kuman-kuman baru yang mungkin lebih canggih, di
samping banyak persembahannya yang berharga. Di tengah modernitas yang selalu
berkembang ini jika HMI dipenuhi oleh anggota yang ‘seolah-olah’ maka HMI akan
berubah menjadi ‘barang komoditi’. Bukan hanya kebesarannya yang selalu
ditampilkan tetapi harga dirinya pun akan rela di gadaikan sehingga
independensinya yang sering dibanggakan layak diragukan.
Apa
yang disebut terakhir diatas hanyalah dugaan atau berupa ke khawatiran, bukan
sebuah kenyataan. Oleh karena itu, penting kiranya untuk mengantisipasinya.
Karena jika hal itu nyata adanya, betapa memperihatinkan HMI kita ini. Kadernya
‘banyak’ tapi ‘sedikit’.
Banyak
hal yang telah dilakukan dan barangkali perlu ditingkatkan oleh HMI saat ini
yang memerlukan dukungan dari berbagai pihak untuk memaksimalkan tugas HMI
selaku pembina mahasiswa. Misalnya yang terjadi di lingkungan HMI Cabang
Yogyakarta, muncul gejala baru Korkom UIN Sunan Kalijaga dengan aktifitas tulis
menulisnya, meskipun hanya berupa buletin, aktifitas pengajian rabu paginya
yang meniru kegiatan KPC, diskusi KOPI malamnya. Di UII ada kegiatan Silakom
(silaturrahim antar Komisariat) yang dilakukan FMIPA UII, HMI Expo FE dan FH
UII dan lain-lain yang tidak saya ketahui. kegiatan-kegiatan tersebut harus
disadari sebagai proses perkaderan dalam rangka pembinaan kader sekaligus layak
diaprisiasi.
Apabila
kegiatan-kegiatan yang sederhana itu bisa dimaksimalkan dan dijalankan dengan
istiqamah dan syukur kalau bisa ditingkatkan insya Allahtidak akan ada lagi
kader yang telat sadar bahwa HMI memiliki peran dan mafaat besar bagi dirinya.
kader tidak akan perlu menunggu jadi pasca atau alumni untuk mengatakan “Apa
yang saya lakukan dulu di HMI sangat bermanfaat, atau saya menyesal dulu tidak
ikut ini, tidak ikut itu di HMI.” Kader
tidak akan ada lagi atau paling tidak, sedikit yang keberatan dan berat hati
menjadi panitia kegiatan, pengurus komisariat atau terlibat-terlibat dalam
kegiatan HMI lainnya. karena apapun yang dilakukan di HMI adalah proses
perkaderan yang –meminjam istilahnya Mas Nugroho meski tidak sama persis– akan
memudahkannya untuk mempertanggung jawabkan ke-HMI-annya kepada HMI dan
memudahkannya untuk mempertanggungjawabkan keislaman sebagai orang Islam baik
di dunia maupun di akhirat.
Tugas
HMI adalah membina Mahasiswa berupa pembinaan. Sedangkan hasilnya mau jadi apa
tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Asalkan sudah berusaha dengan maksimal
insya Allah hasilnya –mau terkenal atau tidak- akan baik. Tentu harus disadari
bahwa tugas itu melekat pada setiap anggata HMI, baik itu kader, pengurus atau
pun pasca pengurus sesuai kapasitas dan tingkat kesadarannya masing-masing.
Pembinaan dengan usaha yang maksimal akan melahirkan Anggota HMI yang baik,
yaitu anggota yang tidak akan terjebak pada mengukur kebesaran HMI hanya karena
keterkenalan para alumninya, tetapi karena kebaikannya. Betapa indahnya,
menurut penulis, jika kita bisa menyebutkan misalnya alumni HMI yang sekarang
menjadi petani yang baik, pedagang yang baik, guru yang baik, tukang ojek yang
baik, guru ngaji yang baik, dan orang-orang baik lainnya yang pekerjaannya
selama ini dianggap sepele, tetapi terlibat aktif di tengah masyarakat untuk
menciptakan tatanan masyarakat yang diridhai Allah swt. Penulis yakin mereka
bertebaran dan dapat dijumpai di bumi nusantara ini. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar