Ahir-ahir ini setelah saya cermati lebih
jauh di lingkungan kampus tempat ku studi, secara jelas, bisa di lihat
aktivitas teman-teman ketika duduk di kelas atau di luar kelas. Entah itu
ketikan ngobrol, sharing pengalaman dan seringnya berdiskusi tentang berbagai
masalah seputer matakuliah dan lebihnya tentang problematika kasus di
Indonesia. Tujuannya pun tidak muluk-muluk, hanya berbagi wacana dan
mengembangakan kreatifitas berfikir sekaligus mengamplikasikan persepktif
(teori) dari masing-masig individu.
Setelah lama saya amati, teman-teman
ketika saat mewacanakan permasalah sangat bervariasi, mungkin karena buku-buku
yang di baca jelas berbeda. Nah, disela-sela itulah banyak oleh ku temui
sesuaitu bentuk kreatif teman-teman ku yang secara jelas sangat terpengaruhi
dari pemikiran tokoh-tokoh klasik dan tokoh-tokoh kontemprer di bidang
masing-masing.
Menariknya disini ketika teman-teman yang
condong merujuk pada tokoh klasik (sebut ku kalangan konservatif) menilai
gagasan-gagasan dari teman-teman yang lebih suka merujuk tokoh-tokoh
kontemporer gugur dalam keilmuannya dasarnya untuk bisa memahami persoalan yang
sedang di diskusikan. Disinilah saya lebih bisa melihat kejelasan tentang
pemisahan pada pemikiran diantara pemikiran klasik (masa lalu) dan modern (masa
sekarang atau kontemporer). Biasanya dikalangan tokoh-tokoh kontemporer bisa di
pahami dari karya-karya yang lebih dominan dekontruktif.
Bolehlah sedikit saya meringkasnya dari
lahirnya pemikir-pemikir kontemporer, dulunya pemikiran yang terbentuk
didasarkan pada sejumlah tokoh klasik, yang pada nantinya akan melahirkan pemikiran-pemikiran
baru yang identiknya mengritik tokoh-tokoh klasik. Mungkin kalau dari segi
kelayakanya (konteks) lebih dipandang mengantikan kedudukan tokoh-tokoh klasik
(pemikiranya).
Nah. Karena dengan dibenturkanya
pemikiran tersebut oleh temen-teman yang konservatif di atas. Saya memahami
pada minat teman-teman lebih banyak
mereka memposisikan pemikir-pemikir kontemporer sebagai yang superior
dari pada pemikiran-pemikiran klasik yang inferior.
Gagasan-gagasan kreatif dari teman-teman
saya ketika berdiskusi bisa saya katanya telah mampu mengembangkan teori dalam
kontek yang semestinya, walau kadang saya memahaminya ketika ada teman yang
mengumpat bahwa teori atau pemikiran yang diwacnakan oleh teman yang
konservatif sudah tidak relevan lagi untuk merumuskan persoalan dalam konteks
sekarang. Argumentasi kritis pun sebagai dalil yang asik di dengarkan, dengan
memaparkan kritikan-kritikan yang kritis kepada temen-temen yang konservatif
sebegitu juga sebaliknya. Jadi dapat ilmu banyak ni aku, hehe
Namun, keniscayaan adanya pergulatan
pemikiran itu dari sekitit dari cerita saya dan teman-teman saya akan terus
berlanjut dan terus akan di perbaharui (pembaharuan) dengan melakukan
sintesa pemikiran klasik dan modern. Dari
pergulatan tersebut diatas secara tidak sadar sebenarnya teman-teman masuk pada
diskursus pemikiran yang masih bisa kita lihat sampai sekarang dan mungkin
entah sampai kapan tentang pergulatan pemikiran.
Disinilah, menurut saya perlu di pahami
dari temen-temen yang konservatif dan dari teman-teman lebih modernis (maaf low
kalau saya mengolong-golongkan, cuman sebagai contoh saja. hahaha) pada lingkup
kritik di ataran keduanya bisa dipahami sebagai usah untuk memperjelas kekurang
dasar pemikiran yang menyangkut epistem nya.
Jadi tidak ada kata alienasi dari segi
pemikiran dan ketika kita dihadapkan pada persoalan zaman kontemporer yang
semakin kompleks ini, makan rujuklah keilmuan dari perbagai khasan keilmuan
peradaban yang mampu menuntun kita pada setiap kesimpulan-kesimpulan yang kita
ambil.
Lestarikan budaya berdiskusi, karena
dengan berdikusi, kita bisa mendapatkan banyak ilmu dari banyaknya
bidang-bidang konsentrasi yang di wacanakan oleh teman-teman kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar