Waktu menjelang malam
sehabis menghabiskan waktu berjajakan dikota berhati nyaman. Star dari bunderan
ugm ngebut dengan dua motor mengondol anak kadis orang, yang tidak lain adalah
ponakan ku sendiri, yang berkunjung ke Jogjakarta.
Berdurasi cukup lama
dan membosankan yang karena laju motor merampat seperti menunggu antrian
sumbangan dari seorang dermawan, padahal jalanan waktu Yogya setempat kalau pas
malam minggu kudu punya perhitungan dari awal, mau kemana, dan lewat jalan apa.
Karena jika tidak, maka nikmatilah kebosanan anda bermalam minggu mengelilingi
jalanan pusat kota Yogya. Lebih jelasnya folume kendaran roda empat sampai roda
dua dari yang pribadi sampai rumahan dan bahkan mungkin dari bagasi retalan
keluar bersamaan. Bisa dibanyagkan bukan, gimana kota yogya dimalam minggu,
tidak jauh speerti di Jakarta dan bandung.
Larut malam sekitar
pukul 01:00 pagi sehabis bercengkrama di perempatakn titik nol kilometer, saya
mengajak para keponakan untuk mensudahi karena mengingat besok juga mau
jalan-jalan lagi. Dengan kesempakatan yang lumayan beribet karena ada yang
betah nongkrong dan yang lainnya lagi ada yang sudah ngantuk dan sebagian lagi
ada yang mau pulang ke rumah (klaten). Ahirnya ku putuskan untuk pulang,-
Entah dosa atau do’a
siapa yang buat motor ku tidak bersahabat pada malam tersebut, dengan bocornya
ban belakang, menandakan bakalan olahraga malam dadakan, karena untuk ukuran
waktu yang kurang lebih jam 01.30an susah untuk mencari tukang tambal ban. Wal
hasil ku beranikan untuk tidak merasakan ketika duduk di jok motor dengan
sedikit goyangan bersama ketidaknyamanan.
Alhamdulillah, waktu
dijalan sebelum POM Bensin Taman Siswa ada kawan senasib yang bocor bannya, dia
memberikan tanda lampung, dengan isyarat bahwa di sebalah kanan jalan ada
tukang tambal ban. Semringan bukan kepalang, karena tidak dorong motot dari BNI
Malioboro sampai Gondo Kusuma.
Karena bergantian
tambal bannya dengan motor kawan menunggu dengan memerlukan waktu kurang lebih
10 menitan. Kata bapaknya tukang tambak. tak begitu memperhatikan bapak tukang
tambal ban tersebut, aku langsung menyruh pada keponakan untuk duluan menuju
kontraan saudara ku yang juga kuliah di jogja (UTY) untuk menginap disana. Dan
akupun sendirian, dengan hanya berteman sebatang rokok di tangan dan juga sama
bapak tukang tambal ban.
Iseng bertanya, berapa
jumlah kebocoran diban kepada bapak tukang tambal ban, beliau tidak menjawab
dan apalagi menolehkan wajahnya, hanya menundukan kepada seperti mengisaratkan
kalau dirinya lagi fokus dalam bekerja. Aku bertanya kembali. Kalau seumpama bodornya
lebih dari satu, diganti saja pak, karena sudah larut malam, untuk mecongkel
ban keluar dari peleknya saja terlalu susah, karena keadaan lampungnya pun
tidak terang, alias remang-remang. Bukan kasih, tapi lebih kepada meringankan
beban.
Bapak tua tukang
tambal pun memberikan raut muka yang kelelan kearah ku dengan tangan
telunjuknya di menudingkan keban tumpukan ban bekas, aku belum menanyakan
kembali kepadanya, bapak tua tukang tambal meneruskan mengeruk-ngeruk ban motor
ku yang berlubang.
Tidak banyak
berbicara, hanya fokus dengan pekerjaan. Larutnya suasana malam mengakrabkan
kami berdua, yang dengan mulainya dingin angin malam mengayunkan pepohonan di
pinggiran jalan, suara bising motor berkenalpot besar yang masih banyak
berseliweran menjadi pemandangan yang cukup bisa untuk jadi bahan pembicaraan
hangat di tengah menunggu permakaran ban dengan air bensol. Tapi tetap saja,
bapak itu hanya menunduk, sambil menyulutkan rokok 76nya, menyudutkan kepada ke
tempok dan merebahkan punggung yang sudah lumayan kurang tegak lagi, bapak tua
tukan tambal ban tersebut menawarkan rokok, aku menolaknya. Lantara aku barusan
habis. Tapi sama bapak tersebut malah di sulutkan dan diberikan kepada ku. Tak
sepatak kata pun terucap dalam getir bibirnya yang mungkin karena suasana
dingin malam.
Hampir selesai,
tinggal memasang kembali dengan memasukan ban dalam ketempat asal. Aku
menyiapakan uang satu lembar yang terselib di saku jelana depan. Setelah
selesai, karena wajahku melihat kearah yang berlawanan dari bapak tua tambal
ban yang sudah selsai merampungkan pekerjaannya, beliau menyentuh bahuku dan
menunjuk dengan tangan kanannya ke arah ban belakang motor ku, bertanda kalau
pekerjaan sudah selesai.
Karena dari tadi aku
bertanya tidak pernah dijawab, langsung saja ku hantarkan uang yang hanya satu
lembar 50 ribuan. Bapaknya berbicara dengan nada suara yang serak-serak seperti
orang tua yang terkena serangan batuk-batuk berkata kepada saya “ngapurane gus, mboten wonten” tanya ku kembali dengan menjawab,
tidak ada kembaliannya maksudnya pak. Beliau hanya mengangguk. Aku membukan
dompet ada beberapa ribuan yang ku hitung cuman 7ribu, aku lantas bilang. Habis
berapa pak semuanya. Bapak itu lantas menarik uang yang ku keluarkan dari
dompet kepet ku berjumlah 7 ribu. Bapak itu tidak berbicara “sampun gus”.
Karena berasa perasaan
kurang enak, aku bertanya lagi, kurang mboten pak, beliau menjawab, “mboten nopo-nopo” yang mungkin bisa di artikan kalau
uang yang ku bayarkan ke beliau kurang. Aku engan pergi karena merasa membayar
kurang, yang biasanya kalau larut malam hagra tambal ban harganya berbeda
dengan di siang hari (khas wong batak).
Sambil mengenakan
helm, aku berbicara kepada bapak, untuk pergi sebentar ke supermarket untuk
membeli rokok sekalian tuker uang untuk tambah kekurangan bayar ban. Saat
diatas motor, tampa memanggil bapak itu menepuk pundak kiriku, dengan
berbicara, “mboten nopo-nopo
gus-iklas”. Sahut ku, dengan
perasaan tidak enak, “nanti pak sebentar tak ke tuker uang ke supermarket
selelah. Beliau menegurku kembali, seperti rada berbisik “uwes gus, mboten nopo-nopo”. Ahirnya, aku turun dari motor yang
belum sempat ku nyalakan, menyalami tangan pak tua tukang tambal ban berwarna
hitam mengkilap berlumuran oli rantai. Dengan menyalaminya, aku berbicara
“ngauprane njeh pak, iklas niku kurangane”. Sahur beliau dengan menganggukan
kepala sambil berbicara kepada saya “iklas gus”. Ahirnya ku lepaskan tangan
yang licin terkena oli berwarnakan hitam mengkilat, bapak itu lalu pergi
meninggalkan aku yang masih melihatnya berjalan kearah mesin kompresor tuanya.
Sampai dijalan, arah
ke kebun binatang, terniang wajah lemas dan pucat bapak tua tukang tambal ban
di tengah malam. Aku mengucap dalam hati, semoga rejeki mu selalu menghampiri
ditengah malam yang dinggin sekalipun. Terima kasih kepada bapak tua tukang
tambal ban yang tidak ku tau nama.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar